Ini hari, 9 november 2019, tepat 30 tahun silam tembok Berlin bobol. Aku sempat menjaksiken peristiwa bersedjarah ini dengen mata kepala sendiri. Tapi sebelum nulis lebih landjut perlu ditegeskan bahwa aku tidak berada di Berlin tepat pada tanggal 9 november 1989 itu. Aku baru ke sana 10 hari sesudahnja, tepatnja tanggal 18 november 1989, seperti bisa dilihat pada visa DDR (Djerman Timur) jang itu wektu aku peroleh dan tertera pada salah satu paspor lamaku. Tapi tidak ke Berlin azha, 30 tahun silam aku djuga ke Leipzig. Tentu azha aku mengirim laporan untuk Radio Nederland, tempatku bekerdja waktu itu, sebagai repoter junior. Inilah tugas meliputku pertama ke luwar negeri. Laporan audioku masih ada, pigimanah jach tjaranja diunggah ke sini? Sebelum tahu tjara melakukannja, ternjata aku djuga mengirim laporan untuk mingguan »Editor«. Laporan itu kutongolken di blogku. Bagi jang ingin batja, silahken ngeklik ini.

Sebenernja, sedjak tiba di Belanda achir 1987, aku sudah beberapa kali ke Berlin. Tentu sadja tudjuanku Berlin Barat, lantaran di sana ada seorang sohib akrab. Tapi sekali di Berlin Barat, wektu itu orang pasti tergoda untuk djuga ke Berlin Timur. Maklum di Timur harga2 lebih murah, misalnja. Di sana kita bisa makan enak dan murah, tapi bagiku masih ada satu hal lagi: Berlin Timur adalah tempat bisa beli partitur musik dengen harga terdjangkau. Seperti bisa dilihat pada foto dua buku musik sonata piano tjiptaan Beethoven, tahun 1988 aku ke Berlin duwa kali, pada musim semi (persisnja 4 april 1988) dan pada musim rontok (persisnja 28 september 1988). Selain harga jang murah (inikah dampak ‘positif’ sosialisme?) setiap kali ke Berlin Timur aku mendapati suasana jang sepi dan asri, apalagi djika dibandingken dengen kehidupan ramai hura2 penuh hiruk pikuk di Berlin Barat. Bukan tjuman musiknja tapi djuga lampu2 iklan kapitalisme jang terlihat ber-kilat2 dan men-djerit2 di mana2 di Berlin Barat.

Untuk ke Berlin Timur, seseorang wadjib membajar visum masuk (aku lupa berapa) dan menukarkan uang 25 Mark Barat dengen 25 Mark Timur, djadi perbandingannja satu lawan satu. Padahal di pasar Barat 1 Mark Barat bisa dapet tudjuh Mark Timur. Kundjungan ke Timur itu hanja untuk sehari, dan dalam paspor djuga ditjap begitu. Klow mau lebih dari sehari maka harus minta visa dulu. Dua kali kundjungan pertama ke Berlin Timur sifatnja sehari, baru kundjungan berikutnja jang lebih dari sehari.
Kundjungan pertama ke Berlin Timur kuachiri dengan makan enak dan murah di sebuah restoran Prantjis, tidak djauh dari patung Marx-Engels. Pengalaman ini begitu menjenangkan dan ingin kuulang lagi pada kundjungan keduwa. Tapi sajang petugas restoran tidak berkenan menerimaku. Katanja restoran sudah penuh, padahal djelas tidak sampai separuh djumlah kursi masih kosong, karena pengundjungnja memang sedikit. Mungkin lantaran target mereka untuk hari itu sudah terpenuhi, begitu pikirku. Jach memang begitulah watak ekonomi perentjanaan, ekonomi kuminis. Konsumen dan chalajak ramai harap maklum.
Perlawatan ke Berlin berikutnja terdjadi tanggal 18 november 1989, sembilan hari setelah tembok Berlin bobol. Ini perlawatan resmi, djadi aku ngurus visum dulu di kedutaan besar Djerman Timur di Den Haag. Bisa dilihat aku masuk ke Berlin Timur liwat pintu gerbang Friedrichstraße pada hari minggu 19 november. Dari situ aku hari itu terus ke Leipzig dan menginap di sana sampai besoknja senin 20 november. Itu hari penting, karena setiap senin malem, warga Leipzig selalu berdemonstrasi. Silahken batja laporanku untuk »Editor« kalow mau tahu lebih landjut tentang demonstrasi ini. Jang ingin aku tambahkan adalah begitu turun kereta di stasiun Leipzig aku merasa sedikit sesak bernafas. Udara djuga terasa apek, tidak enak untuk dipakai bernafas. Dada serasa menjesak menghirup udara. Konon itu akibat pemanas udara jang digunakan di negara2 kuminis Eropa Timur, tidak lain adalah batu bara.
Waktu tiba di Berlin Barat sabtu 18 november aku mendapati banjak orang Djerman Timur (disebut Ossi) jang sudah boleh ke Barat, sedang antri di beberapa tempat. Misalnja di sebuah loket di deket Gedenkniskirche. Antri apakah gerangan? Ternjata mereka sedang antri memperoleh uang saku dari pemerintah Djerman jang disebut sebagai Begrüßungsgeld. Aku berusaha mengambil foto, dengen kamera bututku. Tapi orang2 Ossi itu marah, mereka mengusiri setiap orang jang berusaha mengambil foto. Rasanja harga diri mereka terusik benar kalau sampai dipotret ketika menerima uang saku sebesar 50 Mark Barat.
Aku sendiri sempat lihat beberapa orang Ossi jang kehausan dan gak bisa beli air di Berlin Barat. Maklum uang mereka tidak laku di Barat dan mungkin uang Barat mereka djuga sudah habis. Sekarang, 30 tahun kemudian aku djadi ingin tahu banget, kira2 dulu Kanselir Angela Merkel jang orang Ossi itu djuga ikutan menerima Begrüßungsgeld 50 Mark Barat gak jach?
Dalam perdjalanan ke Leipzig dari Berlin di stasiun kereta api Friedrichstraße aku lihat banjak orang Vietnam jang kembali ke Leipzig membawa banjak barang dari Barat. Kebanjakan peralatan elektronika seperti radio atau televisi atau peralatan stereo tinggi. Vietnam waktu itu punja hubungan erat dengan Djerman Timur, sama2 negara kuminis kan? Orang2 Vietnam itu dateng ke DDR untuk menuntut ilmu.

Mereka tampak seneng dengen bobolnja tembok Berlin. Ikutan seneng dengen warga DDR lain jang berhamburan ke Berlin Barat, memeluk kebebasan. Tapi benerkah senengnja mereka djuga sampé ke dalem hati? Ini aku jang engga tahu. Aku sendiri waktu itu djuga bingung banget: sosialisme jang di-gadang2 sebagai alternatif kapitalisme kok ternjata malah ambruk. Itu wektu aku pingin banget konsultasi dengen dosenku jang selalu me-mudji2 sosialisme.