“In memoriam Arief Budiman” oleh Joss Wibisono

Hari kemis 23 april itu guruku Arief Budiman tutup usia dan dimakamkan di Salatiga, kota di lereng gunung Merbabu tempat aku mengenalnja pada 1981 begitu dia tiba dari Amerika Serikat. Dua mata kuliah jang diasuh pak Arief, begitu aku menjapanja, sempat kuambil, jaitu “Sosiologi pembangunan” (dapat A) dan “Lingkungan dunia usaha Indonesia” (dapat A djuga). Tapi dia bukan sekadar guru, karena berkat dia aku bisa menulis dan tulisanku diumumkan oleh pelbagai media massa. Semula media massa tanah air, dan sekarang djuga media massa luar negeri.

Foto terachirku dengan pak Arief dan bu Leila, september 2012

Ada tiga hal jang kukenang dari pak Arief sebagai dosen. Pertama tjara dia menerangkan teori, terutama teori2 kiri Marxis jang begitu rumit. Tjaranja jang sangat sederhana membuat orang gampang sekali memahaminja. Pak Arief selalu dengan djitu dapat menundjuk intisari satu teori tertentu seraja mengesampingkan dulu unsur2 pendukung lain teori itu, karena tidak begitu penting. Sesudah orang paham inti teori, baru pak Arief mengembalikan unsur2 pendukung lain. Tjara bertahap ini bukan berarti dia menjerhanakan teori2 kompleks itu, tetapi membuat pendjelasan ini sedemikian mudahnja sehingga, sekali lagi, mudah sekali dipahami.

Tjara mendjelaskan seperti ini djuga terbatja pada tulisan2nja. Tjara pak Arief menulis sangat sederhana pula, karena dalam menulis dia hanja ingin pembatjanja paham apa jang ditulisnja. Dalam menulis dia tidak pernah menjombongkan diri atau pamer sebagai orang jang tahu banjak teori. Walau menggemari sastra, dalam menulis dia tidak pula sok njastra, tulisannja kadang terasa datar atau hambar, tapi selalu mudah dipahami.

Kedua, dia selalu mendorong mahasiswanja untuk tidak hanja beladjar teori (waktu itu kebanjakan teori pembangunan negara2 Dunia Ketiga), tetapi djuga memahami teori2 jang diadjarnja dengan tjara mengamati lingkungan sekitar. Suasana sekitar itu harus bisa digunakan oleh seorang mahasiswa untuk mendjelaskan teori jang diperoleh dalam kuliah. Di sini pak Arief mengadjar mahasiswanja untuk langsung menerapkan teori jang diadjarnja pada lingkungan sekitar. Dengan begitu akan terlihat seberapa djauh kita benar2 paham teori2 jang diadjarnja.

Begitu paham dan berhasil menerapkan teori pada keadaan sekeliling, maka kami akan didorong menulis, pemahaman itu menurutnja harus dibuktikan sebagai tulisan. Makanja mereka jang ambil kuliah Arief Budiman pasti djuga digembleng daja tulis mereka. Ini perkara ketiga jang nanti akan aku bahas lebih landjut. Sebelum itu ada satu hal jang harus kuungkap terlebih dahulu.

Aku ingat sekali, ketika mengambil mata kuliah “Sosiologi pembangunan” Arief Budiman jang waktu itu baru kembali dari sebuah seminar di Korea Selatan, mendorongku untuk menulis tentang teori ketergantungan. Dalam kuliah dia bahas pembangunan model kapitalisme di Korea Selatan dan model sosialisme di Korea Utara. Ternjata kuliah itu dia djadikan seri empat tulisan jang diumumkan oleh harian Kompas pada bulan2 agustus dan september 1985. Dia antusias banget, karena di Seoul dia bertemu djago2 teori ketergantungan dunia jang ternama, seperti Samir Amin, Guillermo O’Donnel dan Peter Evans. Korea Selatan waktu itu sudah tampak sukses membenahi perekonomiannja, sesuatu jang menurut pak Arief telah menggojahkan teori ketergantungan. Makanja, artikel terachir Arief Budiman dari empat seri itu berdjudul “Teori ketergantungan digantung” diumumkan oleh harian Kompas pada edisi tanggal 2 september 1985.

Artikel Arief Budiman terbit di Kompas 2 september 1985

Aku tidak begitu sependapat dengan dosenku. Menurutku teori ketergantungan masih bisa diterapkan pada negara2 terbelakang jang tidak semadju Korea Selatan. Mengikuti andjuran pak Arief supaja mengamati lingkungan sekitar, djelas aku bermaksud menuding Indonesia, itulah jang kutulis sebagai makalah tengah semester mata kuliah “Sosiologi pembangunan”. Aku kutip pendapat Richard Robison tentang kapitalisme birokrat jang membuat peran negara begitu dominan. Tentu sadja jang kumaksud adalah Indonesia dengan anak2 harto jang mulai mengangkangi perekonomian, sebagai pengusaha mereka mendapat kontrak negara jang dikuasai ajah mereka.

Walau tidak setudju dengan pendapatnja, tetap aku dapat nilai A untuk makalah ini, dan, tanpa ku-duga2, pak Arief bertanja bersediakah aku berpolemik dengannja di koran. Tergagap menghadapi tawaran ini, aku segera ragu, mana mungkin bisa berterus terang menulis tentang KKN keluarga Tjendana jang pasti akan berarti setjara terbuka melawan politik pembangunan, jang waktu itu begitu getol2nja dilantjarkan harto orde bau?

Menurutnja, supaja tulisan ini dimuat, aku harus tetap setia pada teori, enggak perlu langsung menuding Indonesia. Kalau harus menundjuk negara, maka sebut sadja negara lain, katanja pula. Maka segera makalah tengah semester itu aku djadikan tulisan, dan tentu pak Arief banjak melakukan koreksi. Di sini aku paham tjaranja menulis, harus se-mudah2nja, segampang mungkin, supaja pembatja biasa mudah paham.

Jang djuga selalu ditekankan oleh pak Arief adalah supaja aku terlebih dahulu paham pendapat seorang pakar dan tidak buru2 menjebut namanja dalam tulisanku. Prinsipnja adalah pahami dahulu pendapatnja, baru kalau jakin sudah paham pendapat si pakar boleh kita tjantumkan namanja. “Djangan buru2 mentjantumkan nama, tapi kemudian kamu salah memahami pendapatnja. Itu memalukan sekali,” demikian ditekankannja padaku. Dan tentu paham pendapat seorang pakar lain dengan mengutip pendapat pakar itu. Paham pendapat seorang pakar berarti kita harus bisa merumuskan dengan kata2 sendiri pendapat pakar itu, tanpa setjuwilpun mengurangi isi pendapatnja. Perumusan dengan kata2 sendiri pendapat orang lain ini dalam bahasa mentereng dikenal sebagai parafrase. Pasti karena gemblengan ini aku sampai sekarang djarang pasang nama orang/pakar dalam tulisanku. Jang penting bukan nama tapi pendapatnja, demikian prinsipku.

Setelah tulisanku dinilainja bagus dia kemudian memberi alamat redaksi Kompas, menurutnja naskahku harus kukirim langsung ke redaktur opini jang waktu itu ditangani oleh St. Sularto. Tentu sadja pak Arief tidak lupa untuk membubuhkan “kattebelletje” alias tjatetan singkat, mendesak supaja tulisanku dipertimbangkan.

Bisa dibajangkan betapa diriku degdegan begitu naskah itu kukirim melalui pos, satu2nja tjara mengirim naskah waktu itu. Tiap hari selalu langsung kubuka halaman empat, melihat apakah artikelku dimuat. Selama seminggu atjara langsung buka halaman empat itu kulakukan tiap hari. Setiap kali tulisanku tidak djuga keluar. Sjukurlah tidak sampai dua minggu achirnja keluarlah artikelku itu, pada edisi 27 september 1985. Betapa gembung dadaku, belum lagi 25 tahun sudah nembus koran nasional!

Artikelku ketika diumumkan Kompas eidisi 27 september 1985

Artikel itu merupakan pintu pembuka. Terutama karena kemudian aku dikenalkan pak Arief kepada pelbagai teman dan aktivis di luar kota jang mengikuti tulisan2 sang dosen. Aku berkenalan dengan Nur Iman Subono (Boni) dan Vedi Hadiz, keduanja mahasiswa Universitas Indonesia jang djuga menulis artikel tanggapan tapi sajang tidak dimuat. Di sini aku merasa betapa mudjur sekali aku sebagai mahasiswanja. Boni dan Vedi mengirim artikel itu kepada pak Arief jang segera menundjukkannja padaku. “Mereka ini modal bagi kita,” tandasnja. Banjak aktivis 1980an lain jang kemudian berdatangan ke Salatiga, misalnja Harry Wibowo dari Bandung dan Coki Naipospos dari Djocjakarta. Begitu pula Priyambudi Sulistiyanto yang walaupun kuliah di Djocjakarta, tapi sering datang ke Salatiga mendjenguk orang tuanja. Segera terbuka mataku: betapa besar daja tarik Arief Budiman sebagai seorang tjendekiawan dan aktivis setjara serempak.

Selain berkenalan dengan aktivis kota2 lain, aku djuga sempat mendapat undangan untuk tampil di beberapa adjang pertemuan. Djocjakarta, Semarang, Bandung dan Djakarta adalah kota2 jang kudatangi, antara lain berkat artikelku jang mendebat guru sendiri.

Arief Budiman tidak hanja menggemblengku untuk menulis, dialah jang djuga membawa surat lamaran kerdja untuk Radio Nederland. Tjeritanja, pada suatu hari senin di bulan april 1987 aku datang menemuinja mengembalikan beberapa buku jang kupindjam dalam rangka menghadapi udjian sardjana, hari djumat pekan sebelumnja. Aku tahu dia akan ke Belanda untuk menghadiri sidang INGI jaitu kalangan LSM jang bersidang membahas langkah2 negara donor IGGI.

“Kapan pak Arief berangkat?” Tanjaku sambil mengembalikan buku. “Besok pagi2“, djawabnja. Aku kaget, “Wah tjepet amat”. “Kenapa?” Tanjanja pula. “Boleh titip surat lamaran kerdja di Radio Nederland?”. “Oh ija, pasti dong. Sudah bikin adja sekarang. Radio Nederland djuga bilang mau wawantjara, djadi bisa aku serahkan”. Maka senin sore itu kulewatkan dengan menulis surat lamaran, sambil merekam salah satu siaranku di salah satu radio swasta Salatiga. Malamnja kembali kutemuni pak Arief untuk menjerahkan surat lamaranku.

Seingatku penantian ini tidak begitu menegangkan seperti menanti terbitnja artikel. Singkat kata, tudjuh bulan setelah Arief Budiman membawa surat lamaran ke Belanda, aku mulai bekerdja di Radio Nederland, jaitu pada tanggal 1 november 1987.

Alinea terachir bab 2 bukuku »Maksud politik djahat« terbit bulan lalu

Aku selalu merasa Arief Budimanlah jang menghantarku ke Belanda setelah sebelum itu dibekalinja ketrampilan menulis dan segudang pengetahuan lain. Hutang budi ini pasti tak akan pernah terlunasi. Beristirahatlah dalam kedamaian abadi: guru terkasih.

7 pemikiran pada ““In memoriam Arief Budiman” oleh Joss Wibisono

  1. Menarik tulisannya…membumikan teori2 barat (Marx) dalam konteks realitas sehari-hari masyarakat Indonesia (Jawa).

  2. Tulisan menarik soal sosok yang juga menarik dan unik. Ditulis dari pengalaman personal yang orisinal. Pengamalan yang menunjukkan bagaimana almarhum tak lain adalah sosok pengajar paripurna. Terima kasih sudah menuliskan ini, mas Joss. Rest in Power, Pak Arief.

  3. Baru tahu lebih dalam sosok Arief Budiman yang luar biasa sebagai guru dari tulisan ini. RIP pak Arief Budiman.

  4. Halo Om Joss… terima kasih ya sudah mengirimkan tulisan ini.

    Senang saya membacanya.. tidak hanya membawa saya pada suasana riuh rendah era itu, tapi juga pengalaman dan kenangan personal Om padanya.

    Bagi saya, terutama ketika Pak Arief Budiman mengajak (menantang) Om untuk berpolemik di koran dan Om menanggapinya. Lalu Om gambarkan pengalaman luar biasa ketika menunggu dengan harap2 cemas, hingga akhirnya.. yeeayy.. tulisan Om dimuat di media massa nasional bergengsi..seperti yang Om masih simpan dan tampillkan di tulisan.

    Sy membayangkan sebagai salah satu dari ratusan mahasiswa yang saat itu sempat mengikuti kelasnya: “Wow..Keren juga Dosen ini…!”.. kira2 gitu impresi yang akan sempat muncul dalam benak sy 😃

  5. Ardi Wina Saputra; Indonesia benar benar kehilangan sosok yang sangat berharga semenjak kepulangan beliau, Pak Arief. Sangat berharga.

    Terima kasih atas tulisanya Mas Jos. Aku jadi tahu ternyata Salatiga dulu sedinamis itu ya. Sangat beruntung Mas Jos bisa mengenal Pak Arief apalagi berguru langsung pada beliau. Di balik tulisan kritis Mas Jos yang bergairah dan tajam ternyata ada peran Pak Arief. Semoga anak anak kultural Pak Arief Budiman seperti Mas Joss tetap bersetia mengembangkan gagasan gagasan beliau bahkan menciptakan gagasan baru untuk kebaikan bersama. 🙏

    Oh iya aku juga berharap Mas Jos tetap menjaga kondisi kesehatan di tengah Pandemic ini🙏 Semoga kita sama sama selamat dan sehat🙏

  6. Banjak guru tetapi sedikit jang bisa dimengerti adjarannja. Berbahagialah pak Arief jang arif, semoga ada jang menerusken.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.