“Meneer Joss Wibisono dan Ben Anderson melawan orde bau” oleh Gde Dwitya

Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang bahasa dan kuasa
Joss Wibisono
Tanda Baca, 2020
xiv+142 halaman

Versi edjaan zaman kini bisa dibatja dengan ngeklik ini.

Ben Anderson, sang sardjana ahli Indonesia dan Asia Tenggara itu, biasanja dikenal di Indonesia karena tiga karja penting. Pertama tentu sadja karena Cornell Paper jang membahas soal konflik internal di dalam Angkatan Darat dan kaitannja dengan gerakan 30 September 1965. Kedua, karena disertasinja jang menulis peran pemuda dan pemudaisme dalam revolusi Indonesia. Dan karena buku teoretisnja soal asal-usul rasa kebangsaan: Imagined Communities. Ketiga karja besar ini setjara garis besar adalah karja ilmu politik jang membahas topik lumrah dalam disiplin tersebut: konflik, ideologi, dan nasionalisme.

Buku Joss Wibisono jang berdjudul Maksud Politik Jahat ini, sebaliknja, ingin mengadjak anda pembatja untuk melihat Ben Anderson sebagai pemerhati bahasa dan politik kebahasaan. Pokok ini tampaknja kurang mendapat perhatian para pembatja karja Anderson. Bahkan seorang murid Ben sendiri dalam membahas karja kesardjanaan sang guru pernah luput menekankan karja2 Ben jang membahas bahasa dan politik bahasa (lihat pembahasan pada halaman 21-22).

Perhatian Ben Anderson pada bahasa ini serius betul dan tidak main2. Tidak hanja memperhatikan penggunaan bahasa suatu negara sebagai fokus analisis politik, Ben djuga memahami tindakan berbahasa itu sendiri sebagai suatu tindakan politik. Ben, sebagai misal, dalam berbahasa Indonesia menolak menggunakan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) jang diberlakukan semendjak 1972 dan tetap menggunakan edjaan Suwandi. Ben tampaknja ingin melawan politik bahasa Orde Baru—atau ‘orde bau’ merunut Joss—jang menginginkan generasi muda untuk melupakan sedjarah bangsa sendiri lewat ketidakmampuan membatja karja pra-1972.

Joss mengulas dengan memikat ihwal-muasal sikap Ben jang berkeras menggunakan edjaan Suwandi tersebut. Bahkan Joss dengan djeli memperhatikan bahwa penggunaan edjaan Suwandi oleh Ben sangat tergantung pada dekat-djauhnja doi dengan Indonesia. Ben lebih intens menggunakan edjaan Suwandi ketika sedang berada dekat dengan Indonesia tatkala ia bisa melihat dengan mata kepala sendiri hasil kelantjungan Orde Baru memanipulasi bahasa (lihat halaman 26).

Kedjelian Joss adalah alasan anda harus membatja Maksud Politik Jahat Joss di buku ini tidak hanja djeli dalam mengulas Ben Anderson dan karjanja tentang politik bahasa. Namun Joss djuga adalah seorang virtuoso dalam menuliskan ulasan tersebut. Lihatlah bagaimana Joss menuliskan Orde Baru dengan frasa ‘harto orde bau’ lewat huruf ketjil. Sementara ‘Bung Karno’ ia tulis tetap bersetia dengan kapitalisasi. Ia djuga sempat2nja mengedjek kemiskinan tata bahasa Soeharto dengan memparodikan penggunaan kata ‘daripada’ jang sering Soeharto gunakan dalam pidatonja (lihat halaman 37).

Lewat guratan pena Joss, ‘harto dan orde bau’ nja habis dikuliti. Dalam edjaan Suwandi lagi.

Nikmat betul.

Tak berhenti sampai di situ. Buku ini djuga berpotensi berdampak sistemik, massif, dan terstruktur bagi pembatjanja. Pembatja mungkin sekali djadi tersadar akan bahasa jang mereka gunakan dan mampu berpikir kritis tentangnja.

Dengan mengulas Ben sang pemerhati bahasa, Joss dengan tidak langsung djuga menggugah imadjinasi kritis para tjalon pembatja. Joss, misalnja, dengan memikat bertjerita soal Ben jang menganalisis politik kesusasteraan Nobel dan bagaimana kwalitas terdjemahan karja sastra mempengaruhi keputusan para djuri. Chusus untuk karja sastra Indonesia, Ben merasa kualitas terdjemahan karja-karja Pram membuat sedjumlah karja tersebut tidak muntjul maksimal dalam bahasa Inggris (lihat halaman 54-58).

Saja bajangkan nanti anak muda djadi bisa menggugat—sebagaimana Ben dan Joss lakukan—terdjemahan surat-surat Kartini jang terlandjur djadi ‘habis gelap terbitlah terang’ padahal ada makna jang selip dari frasa aslinja dalam bahasa Belanda ‘door duisternis tot licht’ (lihat halaman 98-99).

Anak muda djuga nanti malah kepingin berbahasa asing lain selain bahasa Inggris-Amerika, dan tidak bangga lagi keminggris. menurut Joss adalah tanda pengetahuan jang tjethèk akibat hanja batja chasanah intelektual Anglo-Saxon (lihat halaman 36-37).

Ingat, para bung pendiri bangsa ini dari Sjahrir, Malaka, Hatta, sampai Kusno semua bisa berbahasa asing lain selain bahasa Inggris. Singkatnja, kita anak muda diadjak mengingat Ben Anderson jang mentjintai bahasa —Ben menguasai hampir selusin bahasa asing— dan memperhatikan politik kebahasaan.

Ben memang sudah swargi, tapi kita semua masih punja Joss Wibisono. Anak muda harus batja buku ini agar sadar berbahasa dan tak terpedaja kelantjungan politik bahasa orde bau.

Tjhingtjai, meneer!

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.