“Perlawanan keluarga Soejono” oleh Joss Wibisono

Versi edjaan orde bau dapat dibatja dengen mengklik ini

Sebelum peringatan 75 tahun proklamasi kemerdekaan agustus mendatang, awal 2020 ini Eropa sudah terlebih dahulu memperingati tiga perempat abad pembebasannja dari tjengkeraman nazi-Djerman. Walau begitu tidaklah berarti bahwa peringatan ini tidak mengikutsertakan orang Indonesia. Dalam perlawanan Belanda terhadap pendudukan nazi-Djerman selama Perang Dunia Kedua, misalnja, orang Indonesia djuga punja peran. Itulah sebabnja achir djanuari lalu pada dua tempat di Leiden berlangsung peringatan seabad Irawan Soejono, sekaligus mengenang 75 tahun gugurnja mahasiswa Indonesia ini akibat peluru seorang pradjurit Wehrmacht, pasukan pendudukan nazi.

Taburan bunga tulpen di bawah papan nama djalan Irawan Soejonostraat

Nama Irawan Soejono sudah mulai tersiar di Belanda sedjak tanggal 4 mei 1990, tatkala di bilangan Osdorp, Amsterdam barat, diresmikan Irawan Soejonostraat (djalan Irawan Soejono). Sebenarnja dalam keluarga Soejono bukan hanja Irawan jang terlibat verzet jaitu perlawanan terhadap nazi-Djerman jang waktu itu menduduki Belanda. Selain Irawan, waktu itu di negeri pendjadjah masih ada Mimi Soetiasmi, kakak Irawan jang kemudian menikah dengan Maroeto Daroesman. Tidak hanja itu. Di London djuga ada R.A.A. Soejono, ajah Irawan dan Mimi jang duduk dalam kabinet Belanda di pengasingan, di bawah perdana menteri Pieter Gerbrandy. Tak pelak lagi, Soejono adalah satu2nja inlander (bumiputera) Indonesia jang diangkat mendjadi menteri dalam kabinet Belanda.

Beberapa sedjarawan Belanda sudah menulis tentang Irawan Soejono maupun mengenai ajahnja R. A. A. Soejono. Tapi sajangnja baik Harry Poeze maupun Herman Keppy menangani keduanja setjara terpisah. Memang benar ajah dan kedua anak (serta menantu) melakukan perlawanan setjara terpisah: ajah di London dan anak2 di Belanda. Walau demikian, djelas mereka melakukan perlawanan untuk satu tudjuan jang sama: pembebasan dari tjengkeraman fasisme dan rasisme, serta politik kanan lain jang tertjela. Berikut dibahas bagaimana satu kelurga jang terpisah bisa sama2 melakukan perlawanan, semula terhadap kekuasaan ekstrim kanan tapi kemudian djuga memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Tidak murni

Begitu Belanda diduduki nazi-Djerman pada 10 mei 1940, ratu Wilhelmina dan kabinetnja menjingkir ke London. Di sana mereka mendirikan pemerintahan Belanda dalam pengasingan. Baru dua tahun kemudian R. A. A. Soejono tiba di London dari Australia bersama letnan gubernur Huib van Mook. Mereka melarikan diri dari Hindia karena pasukan Dai Nippon merangsek. Tak lama kemudian, ketika Van Mook diangkat mendjadi menteri koloni pada 21 mei 1942, dibentuk pula Dewan Pembantu Masalah Hindia. Soejono mendjabat wakil ketua dewan.

Ketika dilantik, Van Mook mengadjukan usul untuk mengubah nama “Departemen Koloni” mendjadi “Departemen Hindia Belanda, Suriname dan Curaçao”, tiga wilajah djadjahan Belanda di Nusantara dan Karibia. Ratu Wilhelmina menolaknja. Menurutnja perubahan ini hanja baru bisa terdjadi djika ada persetudjuan parlemen. Karena parlemen Belanda tidak ikutan mengungsi ke London, maka perubahan nama itu djuga tidak terlaksana.

R. A. A. Soejono di medja kerdja di London
R. A. A. Soejono di medja kerdja di London

Van Mook tidak gampang menjerah. Tak lama kemudian, dia mendesak supaja Soejono diangkat mendjadi menteri. Menurutnja pengangkatan ini akan menegaskan kepada Indonesia dan terutama kepada Amerika Serikat bahwa tidak ada lagi perbedaan antara orang Belanda dengan orang Indonesia. Sebagai menteri, orang Indonesia djuga ikut memutuskan kebidjakan pemerintah. Dengan kata lain, walaupun nama departemen tetap mengandung istilah “koloni”, tapi dengan tampilnja seorang Indonesia dalam djabatan menteri berarti bahwa orang2 Indonesia telah dianggap sederadjat dengan orang Belanda.
Kembali ratu Wilhelmina keberatan dengan alasan jang persis sama seperti alasan penolakan perubahan nama. Tapi setelah desakan massif Van Mook, sri baginda ratu tidak bisa lagi mempertahankan keberatannja. Seminggu kemudian ditandatanganinja keputusan keradjaan jang mengangkat Soejono sebagai menteri tanpa portofolio kedua (Michiels van Verduynen adalah menteri tanpa portofolio jang lain) dalam kabimet Gerbrandy II.

Sementara itu di Amerika semakin berkembang kesadaran bahwa rezim2 kolonial, seperti Hindia Belanda atau India Inggris, sudah ketinggalan zaman. Pendapat seperti ini tidak hanja bertjokol di kalangan pedjabat pemerintah, tetapi terutama djuga marak sebagai opini chalajak ramai, sesuatu jang didjumpai oleh Van Mook sendiri ketika singgah di negeri paman Sam. Di lain pihak semakin dapat dipastikan bahwa adalah tugas sebagian besar pradjurit Amerika untuk menghalau tentara Dai-Nippon dari sebagian besar wilajah Indonesia. Maklum, sebagian besar wilajah Indonesia waktu itu masuk dalam tjakupan South-West Pacific Area di bawah komando djenderal Douglas MacArthur. Bukankah akan masuk akal belaka djika Amerika menolak melaksanakan tugas itu, kalau Belanda tidak berdjandji bahwa begitu perang berachir akan setjara drastis memperbaharui ikatan kolonialnja dengan Indonesia? Apalagi karena kepada Filipina, Amerika sudah mendjandjikan kemerdekaan begitu perang selesai.

Di lain pihak, pemerintah Belanda di pengasingan tetap tidak djuga dapat memastikan bagaimana masa depan Indonesia, djadjahan terbesarnja. Keruwetan dengan tidak djuga keluarnja keputusan ini masih dipersulit dengan sikap keras kepala ratu Wilhelmina jang beranggapan bahwa dirinja tidak terikat pada apapun. Menurut sedjarawan Loe de Jong, kalau kabinet memutuskan ‘ja’ maka sri baginda ratu masih bisa berudjar ‘tidak’. Wilhelmina memang dikenal tidak mau melepas Indonesia. Dia djuga tidak sudi menandatangani pengakuan kedaulatan pada bulan Desember 1949. Ia memilih abdikasi atau turun tahta sadja ketimbang melepas djadjahan terbesar Belanda. Penandatangan pengakuan kedaulatan itu tidak lain adalah anaknja, Juliana jang dilantik mendjadi ratu Belanda pada tanggal 3 September 1948.

Dengan demikian djelas betapa tidak murni motif penundjukan satu2nja inlander ini sebagai menteri. Soejono sampai pada djabatan tertinggi hanja karena pemerintah Belanda di pengasingan chawatir Amerika akan segan membebaskan Indonesia dari pendudukan Djepang. Dengan begitu Belanda tidaklah benar2 berniat mengachiri kolonialisme atau meningkatkan martabat rakjat Indonesia. Ini mendjadi djelas ketika Soejono mengemukakan rentjananja bagi masa depan Indonesia dalam sidang kabinet. Dia usul pemerintah Belanda mengakui hak rakjat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Inilah perubahan radikal pada pendirian seorang Soejono jang selama itu begitu tekun meniti birokrasi kolonial. Bagaimana perubahan itu bisa terdjadi?

Raden Adipati Ario Soejono lahir pada 1886 di Tulungagung, Djawa Timur sebagai keturunan bangsawan Djawa. Ia termasuk segelintir inlanders jang berhasil meraih diploma besar amtenar Belanda. Pada 1915 dia menikahi Sasanti, seorang putri bupati Purwodadi, Djawa Tengah jang berusia 16 tahun (lahir 1899). Pada tahun itu djuga Soejono diangkat mendjadi bupati Pasuruan, djabatan jang dipangkunja sampai 1927. Keempat anaknja lahir di Pasuruan semua: setelah dua anak perempuan, masing2 Loes Soepianti (1916) dan Mimi Soetiasmi (1918); lahir pula dua anak laki2, masing2 Irawan (1920) serta Idajat (1921).

Pada 1920, tatkala masih mendjabat bupati Pasuruan, Soejono ditundjuk oleh gubernur djenderal Johan Paul van Limburg Stirum mendjadi anggota de Volksraad, parlemen Hindia jang anggotanja tidak dipilih. Sebagai anggota Volksraad itu pada 1930 Soejono jang sementara itu sudah selesai mendjabat bupati, memperoleh tugas beladjar di Belanda, mendalami kebidjakan pertanian, peternakan dan perikanan. Pada tahun itu, tatkala Irawan berusia 10 tahun, keluarga Soejono pindah ke Den Haag. Dua tahun kemudian, pada 1932 mereka kembali ke Batavia, tetapi pada 1934 kembali mereka bertolak ke Den Haag. Soejono diangkat mendjadi penasehat delegasi Belanda dalam perundingan karet internasional jang berlangsung di London. Pada tahun 1939 Soejono dan istrinja kembali ke Batavia, karena dia ditundjuk mendjadi anggota Dewan Hindia, lembaga tertinggi penasehat penguasa kolonial. Keempat anak tetap berada di Belanda, karena studi mereka.

Keluarga Soejono tiba di Den Haag, Rotterdamsch Nieuwsbald 11 juli 1930 (Irawan di sebelah kanan)

Sampai di sini djelaslah bahwa karier Soejono sepenuhnja berlangsung di dalam birokrasi kolonial. Djelas pula bahwa Soejono selalu bekerdjasama sepenuhnja dengan penguasa Hindia Belanda. Tapi, sejak 1920an djuga ada orang atau kalangan jang menolak bekerdjasama dengan penguasa kolonial. Misalnja mereka tidak menduduki kursi dalam pelbagai lembaga perwakilan. Kalangan ini jakin bahwa dalam rangka memperoleh hak penentuan nasib sendiri pihak Belanda tidak bisa diadjak bekerdjasama. Mereka menjebut diri kalangan non-koperatif, berlawanan dengan Soejono jang disebut kalangan koperatif.

Antjaman fasisme Djepang dan achirnja pendudukan pasukan Dai Nippon membawa perubahan. Perpetjahan di kalangan konperatif dan non-koperatif bergeser mendjadi konsensus bahwa Belanda harus mengakui hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Pada achir 1942, dalam sidang kabinet Belanda di pengasingan di London, sebagai menteri sampai tiga kali Soejono dengan penuh gelora mendesak supaja pemerintah Belanda memberi otonomi kepada Indonesia. Tapi tidak satu menteripun setudju, djuga tidak menteri2 partai buruh jang dikenal progresif. Djelas terlihat betapa bukan hanja ratu Wilhelmina jang tidak menghendaki kemerdekaan Indonesia, melainkan segenap anggota kabinet djuga demikian. Dalam memoirnja, Otto Cornelis Adriaan van Lidth de Jeude, waktu itu mendjabat menteri peperangan, menulis bahwa tidak mungkin Belanda akan begitu sadja menjerahkan hak2 kedaulatannja atas Indonesia.

Soejono sangat shock, ada jang mentjatat betapa dia tampak putjat pasi. Ia meninggal karena serangan djantung pada tanggal 5 djanuari 1943, belum lagi sebulan setelah ratu Wilhelmina berpidato tentang masa depan tiga djadjahan Belanda jaitu Indonesia, Suriname dan Curaçao (djadjahan Belanda di Amerika Latin dan Karibia). Tidak terdengar kata kemerdekaan atau otonomi dalam pidato itu, Wilhelmina hanja berudjar bahwa di masa depan tidak akan ada lagi “perbedaan perlakuan berdasarkan ras dan asal usul”. Di sini sang ratu hanja bersikap anti nazi jang memang mendjalankan politik ras. Aspirasi kemerdekaan Indonesia sama sekali tidak disinggungnja. Menteri peperangan Van Lidth de Jeude kaget mendengar kabar kematian Soejono, dia sebenarnja menaruh simpati padanja, tidak seperti beberapa menteri lain jang tjuma melihat Soejono sebagai pengchianat. Bahkan Van Lidth de Jeude sudah mengundang Soejono untuk makan malam bersama. Tentu sadja undangan itu tidak terpenuhi.

Menteri Soejono dimakamkan di kuburan Muslim di Woking, di London barat daja. Ratu Wilhelmina tidak hadir pada saat pemakaman, tapi diwakili oleh duta besar Belanda untuk Inggris Michiels van Verduynen. Kemudian majdjen Pfaff hadir atas nama pangeran Bernhard, suami putri Juliana. Perdana menteri Gerbrandy djuga hadir, termasuk menteri luar negeri Eelco van Kleffens, menteri kehakiman Jan van Angeren dan Piet Kerstens jang mendjabat menteri perdagangan. Selain itu djuga tampak beberapa pelaut Indonesia dan seorang imam jang memimpin doa. Tidak satupun anggota keluarga Soejono datang, maklum tidak ada hubungan lalu lintas apapun antara Inggris dengan Eropa daratan jang kebanjakan diduduki nazi.

Pemakaman menteri Soejono di Woking, London (sumber https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Begrafenis_van_minister_Soejono_op_de_Islamitische_begraafplaats_te_Woking_(Sur%E2%80%A6,_Bestanddeelnr_935-0719.jpg)

Dalam rangka mengenang satu2nja menteri bumiputera ini, Rijksmuseum Amsterdam, museum terbesar Belanda, mulai achir maret 2020 memasang lukisan Soejono karja perupa Anton Abraham van Anrooy dalam pameran tetapnja. “Dia tokoh penting, seorang Indonesia jang duduk dalam kabinet Belanda,” kata Harm Stevens, konservator Rijksmuseum. “Sampai sekarang dia djuga merupakan satu2nja menteri dalam kabinet Belanda jang beragama Islam,” tutur Stevens lebih landjut. Konservator ini menundjuk apa jang disebutnja “paradoks menarik” pada diri Soejono. Walaupun diangkat sebagai menteri ternjata kabinet Belanda menolak usul mengakui hak rakjat Indonesia menentukan nasib sendiri. Latar belakang inilah jang mendorong Rijksmuseum memasang lukisan Soejono.

Soejono karja Anton Abraham van Anrooy

Roh pembebasan

Lain ajah, lain pula anak, demikian kira2 pepatah jang diplesetkan. Tamat sekolah menengah Belanda, pada 1940, Irawan Soejono diterima sebagai mahasiswa sosiografi (sekarang sosiologi) pada universitas Leiden. Seperti kebanjakan mahasiswa Indonesia lain, Irawan mendjadi anggota Perhimpoenan Indonesia, kelompok beraliran progresif kiri jang memperdjuangkan kemerdekaan tanah air. Pendudukan nazi-Djerman membawa perubahan dalam PI. Melihat bahwa fasisme merupakan hambatan bagi kemerdekaan Indonesia, diputuskan untuk bekerdjasama dengan kalangan verzet (perlawanan bawah tanah) Belanda. Perdjuangan bagi kemerdekaan Indonesia tidak dilupakan, tetapi untuk sementara digeser ke belakang dulu. Sembojan PI waktu itu adalah “Eerst Nederland bevrijden, dan Indonesië” artinja “pertama bebaskah Belanda dulu, baru kemudian Indonesia”.

Menarik di sini penggunaan kata “bevrijden” jang berarti membebaskan, bagi Belanda itu djelas bermakna pembebasan dari pendudukan nazi-Djerman. Tapi bagi Indonesia apakah itu hanja bermakna pembebasan dari pendudukan pasukan Dai Nippon? Tentu sadja tidak, tapi para anggota PI sengadja tidak menggunakan kata merdeka (dalam bahasa Belanda onafhankelijk), karena akan mempersulit kerdjasama dengan pihak Belanda. Seperti terlihat pada pengangkatan Soejono, banjak orang Belanda tidak setudju Indonesia merdeka. Supaja kerdjasama dengan pihak Belanda lantjar dan orang2 Indonesia diterima dalam verzet atau perlawanan bawah tanah, maka digunakan sembojan pembebasan Indonesia jang sepintas memang bermakna sama dengan pembebasan Belanda.

Terdapat tiga djenis aktivitas perlawanan Irawan Soejono. Tatkala dia pindah ke Amsterdam karena nazi-Djerman menutup universitas Leiden, Irawan bersama Slamet Faiman (anggota PI lain) mentjarikan tempat persembunjian bagi anak2 Jahudi, supaja mereka tidak diangkut ke kamp konsentrasi. Kembali ke Leiden pada awal 1944, Irawan bertugas menangani urusan teknis De Bevrijding (pembebasan) berkala terbitan mahasiswa Indonesia. Selain itu dia djuga anggota satuan bela diri Indonesia jang bernama Soerapati. Satuan ini merupakan bagian satuan perlawanan Belanda jang menamakan diri Binnenlandsche Strijdkrachten (pasukan dalam negeri Belanda). Setelah Irawan gugur, satuan ini berganti nama mendjadi Irawan.

Pada hari naas, sabtu sore 13 djanuari 1945, Irawan bersepeda lewat de Breestraat, djalan dengan pertokoan di Leiden, di bontjengan dibawanja mesin stensil tertutup karung jang baru direparasi untuk mentjetak berkala De Bevrijding. Tiba2 dia kepergok razzia Wehrmacht, tentara Djerman jang menangkapi pria berusia antara 18 sampai 40 tahun untuk didjadikan buruh di Djerman. Sadar bahwa kalau ketahuan membawa mesin stensil dia bisa ditangkap, Irawan belok ke djalan ketjil de Boommarkt. Seorang pasukan Wehrmacht melihatnja dan tanpa ampun melepas tembakan jang mengenai pelipis kiri Irawan. Dia gugur. Adalah kakaknja, Mimi Soetiasmi, jang mengurus penguburan Irawan di makam Groenesteeg. Pada november 1946 djenazah Irawan diperabukan dan abunja dibawa pulang untuk dimakamkan di Tanah Kusir, di samping ibunja, Sasanti.

Murjani Kusumobroto di dekat bekas makam Irawan Soejono di Groenesteeg

Djumat sore 24 djanuari 2020 di Leiden berlangsung peringatan untuk mengenang Irawan Soejono. Hari itu tepat 100 tahun silam dia lahir, sekaligus 75 tahun silam dia gugur. Peringatan jang berlangsung di dua tempat, masing2 di Boommarkt (tempat dia gugur) dan di kuburan Groenesteeg (tempat dia pernah dimakamkan) diselenggarakan oleh Werkgroep (kelompok kerdja) Merapi. Inilah organisasi para keturunan orang2 Indonesia jang pernah terlibat dalam verzet alias perlawanan terhadap nazi-Djerman.

Irawan tidak meninggalkan tulisan atau publikasi. Tetapi orang jang mengenalnja banjak memudji dan menghargainja. Soeripno, redaktur De Bevrijding jang bekerdjasama dengan Irawan menulis, “Tjuatja baik atau buruk, ada bahaja atau tidak, dalam kegelapan malam, Henk (nama samaran Irawan adalah Henk van de Bevrijding) selalu siaga. Dengan seksama ia laksanakan tugasnja, sehingga dia adalah salah satu anggota Perhimpoenan Indonesia jang paling penuh bakti, dialah roh pembebasan”. Demikian Soeripno dalam obituarinja mengenang Irawan Soejono.

Berbeda dengan Irawan jang tidak menulis, Mimi Soetiasmi (kakak Irawan) ternjata menerbitkan tulisan. Sampai sekarang baru ketemu satu artikel Mimi, terbit pada edisi djuni 1945 madjalah Jeugdland, tatkala Belanda sudah bebas dari pendudukan nazi-Djerman. Tidaklah mengherankan Mimi menggunakan namanja sendiri. Tulisan ini memberi kesan Mimi sudah biasa menulis. Besar kemungkinan masih ada artikel lain karja Mimi Soetiasmi, terutama tatkala perang masih berketjamuk. Untuk itu harus diketahui dulu apa nama samarannja semasa perang.

Artikel karja Mimi di madjalah Jeugdland

Dalam artikel berdjudul “De Bevrijding van Indonesië” (pembebasan Indonesia) Mimi jang waktu itu berusia 27 tahun meminta perhatian kawula muda Belanda bagi pembebasan Hindia. Walaupun pada bulan djuni 1945, Belanda sudah sebulan bebas dari pendudukan nazi-Djerman, itu tidaklah berarti perdjuangan sudah berachir. Demikian peringatan Mimi, jang segera menundjuk bahwa djanganlah melupakan Indonesia jang masih dalam tjengkeraman Dai-Nippon, Djepang fasis. Mimi djelas geram melihat kaum muda Belanda begitu bersuka ria, se-olah2 perang sudah benar2 selesai. Perang belum selesai, karena itu orang harus memikirkan pembebasan Indonesia, tegasnja.

Jang penting dalam artikel ini Mimi tidak menulis tentang kemerdekaan Indonesia, melainkan tentang pembaruan hubungan Belanda Indonesia. Menurutnja, seusai perang, hubungan keduanja bukan lagi kolonial melainkan hubungan jang “tidak boleh lagi hanja ditentukan oleh satu pihak, tetapi harus diterima setjara suka rela oleh kedua pihak”. Belanda dan Indonesia, menurutnja, harus berdiri dalam persamaan demokratis. Djelas di sini Indonesia jang sepenuhnja merdeka dari Belanda belum masuk pertimbangan, karena kedua pihak tampaknja masih memikirkan bagaimana hubungan itu harus diperharui. Mimi djuga mengingatkan pembatja madjalah dwimingguan Jeugdland, jang adalah kaum muda Belanda, bahwa pada pidato 7 desember 1942 di pengasingan di London, ratu Wilhelmina sudah berniat memperbaharui hubungan Belanda Indonesia, hubungan jang sepenuhnja harus berdasarkan kebersamaan.

Pandangan ini djuga merupakan garis besar pemikiran kawula muda Indonesia di Belanda pada djuni 1945. Djelas kemerdekaan sama sekali belum masuk pertimbangan. Mereka masih berpendapat ada masa depan bagi hubungan Indonesia Belanda, kedua negara tidak akan benar2 berpisah sepenuhnja. Karena itu Mimi djuga menggunakan istilah “bevrijding” jang berarti pembebasan, persis seperti Belanda jang bebas dari pendudukan djerman. Kalaupun muntjul kata2 atau istilah2 seperti “zelfstandigheid” (kemandirian) atau “recht op zelfbeschikking” (hak menentukan nasib sendiri) jang tampaknja diperoleh Mimi dari ajahnja, maka itu tidak otomatis berarti kemerdekaan penuh. Sekali lagi, para mahasiswa Indonesia di Belanda pada waktu itu menginginkan dihapusnja hubungan kolonial jang tidak serta merta berarti kemerdekaan Indonesia.

Perang dan pendudukan memang mengakibatkan tiadanja komunikasi antara Belanda dengan Hindia, djadjahan terbesarnja. Akibatnja orang Indonesia di Belanda tidak tahu apa jang terdjadi di tanah air, selain pendudukan Djepang. Demikian pula orang2 di tanah air tidak tahu apa jang persisnja terdjadi di negeri pendjadjah, selain, mungkin, bahwa nazi-Djerman mendudukinja. Teknologi komunikasi jang belum berkembang djelas berperan besar dalam saling ketidaktahuan ini.

Mimi Soetiasmi tidak tahu bahwa di tanah air telah diresmikan BPOPK (Badan Penjelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan) oleh balatentara pendudukan Djepang pada tanggal 29 april 1945. Ini berarti sudah benar2 diambil langkah persiapan menudju kemerdekaan. Istilah jang digunakan sudah kemerdekaan, bukan lagi kemandirian apalagi tuntutan hak menentukan nasib sendiri, seperti bisa dibatja pada tulisan Mimi. Di lain pihak bisa dipastikan chalajak Indonesia djuga tidak tahu bahwa Irawan Soejono sudah ditembak mati oleh nazi-Djerman pada djanuari 1945. Djangankan penembakan Irawan, aktivitasnja, termasuk aktivitas para anggota PI lain jang bergabung dalam verzet (perlawanan bawah tanah) tampaknja djuga tidak diketahui orang2 di tanah air.

Selama perang berketjamuk, Mimi kembali ke Belanda dari studi sastra Prantjis di Paris. Sebagai anggota Perhimpoenan Indonesia dia djuga ikut menjebarkan koran2 ilegal. Tahukah Mimi bahwa harian Trouw pada bulan desember 1943 menerbitkan edisi chusus jang menjerukan kembalinja hubungan kolonial begitu perang selesai? Masih berniatkah Mimi dan orang2 Indonesia lain menjebarkan edisi chusus harian ini?

Maroeto Daroesman dalam salah satu tulisannja jang terbit begitu Belanda bebas dari pendudukan nazi-Djerman, djustru mengutip Vrij Nederland, mingguan progresif Belanda jang mendukung pembebasan Indonesia. “Perdjuangan kita di Indonesia harus diukur berdasarkan nilai2 tinggi jang sama seperti perlawanan terhadap nazi di sini. Bukan perebutan kembali, bukan keserakahan nasional, melainkan kebebasan, keadilan dan kemanusiaan”. Maroeto djuga ber-tanja2, setelah didjadjah Djepang dengan begitu bengisnja, maukah rakjat Indonesia kembali dalam kekuasaan Belanda? Sebagai negara Asia pasti Djepang djuga menjebar kebentjian terhadap Barat di kalangan rakjat Indonesia. Kemudian orang2 Barat akan datang, baik itu sekutu maupun Belanda, maukah orang Indonesia bekerdjasama dengan mereka untuk mengusir Djepang? Maroeto jakin orang Indonesia pasti lebih menghendaki untuk mengurus diri sendiri.

Pada 24 djanuari 1946 Maroeto Daroesman menikahi Mimi Soetiasmi. Dalam pengumuman di koran keduanja memasang alamat di Amsterdam dan Maroeto menambah informasi bahwa dia adalah doctorandus (sardjana) indologie, pendahulu kadjian Indonesia zaman sekarang. Keduanja berkenalan pada zaman pendudukan nazi, dan sama2 aktif dalam verzet. Bisalah dimaklumi kalau sebagai pengantin baru keduanja memutuskan untuk kembali ke tanah air, memperdjuangkan Indonesia merdeka. Pada 1948 Maroeto jang terlibat dalam afair Madiun dieksekusi bersama Amir Sjarifuddin dan beberapa tokoh komunis lain. Dia meninggalkan Mimi dan dua anaknja. Bertutur kepada Soe Hok Gie tentang suaminja, Mimi menggunakan nama samaran Sundari. Pada tahun 1950, Mimi menikah dengan Jusuf Mudadalam jang djuga aktif dalam verzet di Belanda, penikahan ini dianugerahi dua anak. Mimi Soetiasmi meninggal mendadak tahun 1976, pada usia 58 tahun. Dia dimakamkan di Tanah Kusir.

Iklan pernikahan Mimi Maroeto pada harian »Het Parool« edisi 2 februari 1946

Korban dan pelaku

Dengan berkonsentrasi pada keluarga Soejono maka tampak bahwa perlawanan orang Indonesia benar2 memenuhi sembojan “Eerst Nederland bevrijden dan Indonesië”, Belanda dulu dibebaskan, baru kemudian Indonesia. Per-tama2 perlawanan ini berlangsung di bawah tanah di Belanda: Irawan, Mimi dan Maroeto bergabung dalam verzet, kalangan perlawanan Belanda. Irawan gugur, dia menjerahkan njawa bagi pembebasan Belanda. Selain itu perlawanan djuga berlangsung setjara terbuka di London. Sebagai anggota kabinet Belanda di pengasingan, Soejono aktif memperdjuangkan hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Gagal mejakinkan kabinet Belanda, Soejono tutup usia karena serangan djantung. Walau mungkin tidak seherois anaknja jang gugur dua tahun kemudian, Soejono tetap pantas disebut “gugur dalam perdjuangan”.

Setelah Belanda bebas dari pendudukan nazi, Mimi dan Maroeto jang sementara itu sudah berkeluarga melanjutkan perdjuangan pembebasan Indonesia, mereka pulang ke tanah air. Walaupun Maroeto dieksekusi di Madiun, tak dapat dipungkiri dia djuga berperan dalam perdjuangan kemerdekaan Indonesia. Perdjuangan itu memang sudah bukan lagi melawan pendudukan Djepang, melainkan menghadapi Belanda jang berupaja kembali mendjadjah Indonesia. Tak pelak lagi, kasus keluarga Soejono membuktikan perdjuangan kemerdekaan Indonesia baru berlangsung setelah Belanda bebas dari pendudukan nazi-Djerman, walaupun bukan perdjuangan melawan fasisme Djepang melainkan, ironisnja, perdjuangan melawan Belanda jang berupaja merebut kembali djadjahannja. Sembojan itu djuga mengungkap bahwa Belanda jang pada zaman pendudukan nazi merupakan korban, maka terhadap Indonesia, Belanda berubah mendjadi pelaku. Tapi bukankah sebenarnja itulah peran asli Belanda, jang sudah dilakukan sedjak 1602, ketika VOC didirikan?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.