“Di balik bahasa ada kuasa” oleh Rony K. Pratama

Versi terdahulu dan dalem EYD bisa dibatja dengen mengklik ini.

Bahasa selalu bersifat politis. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, sebagaimana dipahami djamak orang, melainkan djuga instrumen dan medium kekuasaan. Tjorak kekuasaan dalam bahasa salah satunja ditandai oleh sistem edjaan. Sebuah pendisiplinan jang subtil di tengah keanekaragaman ekspresi berbahasa masjarakat.

Joss Wibisono dalam buku terbarunja bertadjuk Maksud politiek djahat (2020) setjara lugas menguraikan kedudukan bahasa dan kekuasaan di Indonesia. Kritik tadjamnja terhadap pengunaan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) membongkar praktek diskursif rezim Soeharto selama tiga dekade. Rezim otoriter pada semua lini kehidupan masjarakat Indonesia waktu itu ternjata menjembunjikan “maksud jahat” di balik kebidjakan EYD.

Dari edjaan Suwandi ke EYD bukan perkara teknis, melainkan djuga politis. Joss membasiskan pendapatnja itu pada Benedict Anderson, spesialis atau ahli Indonesia. Peralihan edjaan berarti membuat batas tegas antarperiode kekuasaan. Kelihatannja masalah administatif. Namun, di baliknja setjara implisit merupakan usaha rezim dalam menghapuskan sedjarah” kekuasaan sebelumnja.

Joss meneropong realitas itu dengan djeli dan kritis. Generasi kiwari jang terbiasa EYD akan kesusahan membatja literatur dengan sistem edjaan Suwandi. Pada skala lebih luas, generasi tersebut akan “dibutakan” oleh kenjataan sedjarah, sehingga lengkap sudah mereka tertjengkeram oleh politik bahasa. Situasi ini, bagi Joss, merupakan ketjenderungan penguasa jang radjin “meng-obok2” bahasa demi kepentingan politiknja (lihat halaman 33).

Kita akrab dengan bahasa jang baik dan benar. Konsepsi ini menistjajakan sebuah pendisiplinan dalam praktek berbahasa. Terdapat pihak tertentu jang mendaku otoritatif, sehingga ia membina ekspresi berbahasa masjarakat jang dianggap menjimpang dan tidak sesuai kaidah jang diatur. Bagi mereka jang melentjeng maka akan dinormalisasikan. Mengatur bahasa, dengan demikian, sama dengan mendisiplinkan pikiran. Tjorak ini diselidiki Joss terdjadi pada penguasa fasis. Otoriterisme ternjata tak hanja bertjirikan bedil tapi djuga masuk ke dalam ruang linguistik. Tak banjak kadjian mengenai ranah ini di tengah kampanje bahasa Indonesia jang baik dan benar. Benedict Anderson adalah sedikit ilmuwan jang memfokuskan diri dalam corpus tersebut. Sementara Joss turut memperkaja konsepsi itu ke lingkup praktis. Bagaimana bentuknja?

Pada bab tiga berdjudul Keprihatinan Bahasa Benedict Anderson (halaman 24) Joss menggunakan Edjaan Suwandi. Konsistensi ini menegaskan betapa perlawanan terhadap bahasa harus ekuivalen dengan penggunaan sistem edjaan bersangkutan. Ia menulis “orde bau” untuk menjebut “Orde Baru” sebagai bentuk perlawanan terhadap watjana politik bahasa rezim Soeharto. Hal ini membuktikan pula bahwa penamaan “Orde Baru” sendiri sangat bermasalah. Apalagi menjebut era sebelumnja, kekuasaan Sukarno, sebagai “Orde Lama”. Joss bersikap kritis terhadap problem ini dan menolak terdjebak dalam watjana pendisiplinan bahasa dan sedjarah.

Sedemikian problematis politik bahasa digentjarkan, Joss menukik ke masalah politik terdjemahan. Ia menjodorkan sedjumlah masalah penerdjemahan surat2 R.A. Kartini versi Armijn Pane dan Sulastin Sutrisno. Penerdjemahan serampangan, menurut Joss, membuat Kartini “kehilangan greget, kehilangan gelora, kehilangan tekad jang begitu membara” (halaman 123). Padahal gaja bahasa Kartini telah diakui adiluhung. Profesor Wertheim dan profesor Teeuw berdetjak kagum mendaras ketadjaman dan ketjerdasan putri asal Djepara itu dalam menggunakan bahasa Belanda.

Kesalahan fatal dilakukan Sulastin Sutrisno. Ia melakukan anakronisme mentjotjokkan hasil penerdjemahan dengan situasi zaman manakala penerdjemahan dilakukan. Penggalan waarop zij één en dezelfde God dienen jang oleh Joss diterdjemahkan “menjembah satu dan Tuhan jang sama itu”, malah oleh Sulastin dialihbahasakan mendjadi “mengabdi kepada Tuhan Jang Maha Esa dan Jang Sama”. Konstruksi penulisan kapital di sana terlihat sengadja dilakukan Sulastin karena menjesuaikan atmosfer politik waktu itu. Penerdjemahan surat2 R.A. Kartini versi Sulastin diterbitkan pertama kali tahun 1979.

Men-tjotjok2kan tulisan R.A. Kartini dengan kechasan ideologi penguasa adalah bentuk anakronisme. Joss mentjatat masalah ini setjara gamblang. Mentjerabut konteks historis kapan dan di mana surat2 R.A. Kartini ditulis (1899) menundjukkan kesembronoan penerdjemah. Bagaimana mendjelaskan masalah ini? Apakah berpaut erat dengan kesengadjaan atau ketidakmampuan bahasa? Joss menjodorkan djawaban tegas di buku ini. Paparan tersebut hanja sedikit tjontoh dari sedjumlah masalah penerdjemahan surat2 R.A. Kartini. Konsep politik terdjemahan rekaan Benedict Anderson jang dipraktekkan Joss telah berhasil mempreteli bagaimana di balik bahasa nistjaja segendang sepenarian dengan kekuasaan.

Nama om Ben —panggilan akrab Benedict Anderson— dikenang djamak orang dengan pelbagai atribut berikut kemesraan masing2. Selain mengadjarkan laku kritis terhadap bahasa jang atjap kali dianggap terberi dan natural, melalui Joss Indonesianis jang tutup usia achir 2015 di Batu ini serasa dekat. Buku ini djuga berisi kehangatan Joss dan Om Ben. “Terima kasih Ben Anderson, aku benar2 telah menerima kasihmu. Djuga terima kasih atas semuanja, mulai dari perkenalan di Freeville pada musim panas 1991 sampai persahabatan selama hampir seperempat abad ini” (halaman 9).

Penulis beladjar Kadjian Budaja dan Media di Pascasardjana UGM

Djudul: Maksud politiek djahat: Benedict Amderon tentang bahasa dan kuasa

Tjetakan Pertama, Maret 2020
Xix+142 hlm; 13 x 20 cm
ISBN: 978-623-90624-8-4

Penerbit TandaBaca

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.