“Fascination with Fascism” by Joss Wibisono

Fascination with Fascism: Japan and Germany in the Indies of the 1930s

Japan’s victory over Russia in 1905 was, as widely known, an eye opener for other Asian nations, especially those who were still colonized. At last fellow Asians defeated the white race, so it was perceived. Japan became a model and the interest in the country of the rising sun extended well until the 1930s, a different period in Japan as it embraced fascism. Information and knowledge about Japan filtered through to the Indies mainly through publications in Dutch, which, in turn, originated from Germany. This should not be a surprise, since, not long after the Meiji restauration in 1868, a close relationship had been established between Japan and Germany. In the Indies admiration for Japan grew into fascination for Germany too.

Ki Hadjar Dewantara, leader of the educational institute Taman Siswa and father of the Indonesian national education, admired Japan for its tradition of Kokka or “to govern a nation as a family”, as published in Wasita, one of Taman Siswa’s periodicals. As an educationalist Dewantara emphasized the importance of family, which he considered as sacred and therefore adopted as a basis for Taman Siswa. At least in the 1930s Dewantara educated his pupils as if they were brought up in a family, the so-called Among System.

In 1930 Dewantara was also elected dictator of Taman Siswa. This was actually his strategy to face Dutch colonial authority, which was determined to shut down Taman Siswa. Taman Siswa was considered one of the so-called “wild schools”, because they rejected government subsidy and subsequent control. It turned out that as a dictator Dewantara succeeded in putting the colonial authority’s attempt to shut down Taman Siswa on hold. He also succeeded, for the first time ever, in uniting nationalist organisations in the Indies. This means there was no urgency to replace him as dictator. At best there was a change of title, from dictator into general leader.

There are some striking continuations between Dewantara and Soeharto. First and foremost Dewantara wanted to have a strong leader, and Soeharto was indeed Indonesia’s strong man during his 32 years of Neuordnung. Dewantara was also one of the authors of Constitution UUD 45, which Soeharto used to rule with iron fist. Soeharto also governed Indonesia as if he presided over a family. Not only did he confuse being head of a family with being head of state, he also did not give opposition a chance. Dewantara rejected division between employers and employees. By applying the Pancasila labour relations, Soeharto, in effect, prohibited labour unions.

In Dewantara’s fascination with pre-war Japan and Germany, we discover the origins of Soeharto’s dictatorship and also, perhaps, a history of the Indonesian Right.

12 pemikiran pada ““Fascination with Fascism” by Joss Wibisono

  1. Soeharto really governed the country as a family indeed, as an traditional indonesian family. Where the head of the family the boss is and that the rest doesn’t count. The thought of running a country as a family is actually beautiful and sounds warm. But first must be clear what kind of family you want to run! Nice artikel JoSS

    1. Hallo Dahlia, makasech udah batja dan berkomentar. Sebenernja tulisan di atas itu adalah ringkasan lezingku di Kyoto dan Tokyo. Dan jang aku pentingken bukan engkong hartonja, tapi asal usul darimana si engkong dapet gagasan itu. Tidak lain asal usulnja adalah Ki Hadjar Dewantara. Salam.

      1. ibrahimisa
        Jum”at, 04 Mei 2012
        —————————-

        Bung Jos y.b.,

        Seperti Anda jelaskan dalam komentar thdp komentar, — artikel Anda bermaksud
        mennjelaskan bahwa Suharto dapat ilham fasisme, yang ia laksanakan
        di Indonesia itu, –adalah dari Ki Hajar. Dijelaskan juga betapa Ki Hajar terpesona oleh Jepang dan Jerman. Dan bahwa Ki Hajar di Taman Siswa adalah diktator.

        Suatu TEORI YANG INTERESAN yang Anda ajukan itu!

        Selain saya murid Muhammadiyah ketika di SD, di sekolah menengah saya murid Taman Dewasa Raya. Amat kenal baik dengan Pak Said, yang ketika itu kepala sekolah Taman Siswa di Jl Garuda 25, Jakarta. Di kelas saya Pak Said guru bahasa ( 3 bahasa asing) dan guru matematik sekaligs. Saya suka sekali dapat pendidikan dari Pak Said yang kemudian menjadi Ketua Majlis Luhur Taman Siswa. Ketika itu dan juga selanjutnya, saya samasekali tidak pernah dengar bahwa Ki Hajar itu ‘diktator’ Taman Siswa. Apaalgi bahwa ada saling hubungan yang tidak transparan (bagi saya dan banyak teman) antara Ki Hajar dengan fasisme.

        Saya sangat ingin mengetahui bagaimana reaksi orang-orang Taman Siswa, membaca tulisan Anda bahwa Ki Hajar terpesona oleh Jerman dan Jepang yang fasis, dan sendiri juga jadi diiktator di Taman Siswa.

        Yang paling gawat ialah kesimpulan Anda bahwa seakan-akan Suharto dapat isnpirasi mengenai cara memerintah (Orba yang anti-demokratis, otoriter, rasis,kejam dan biadab itu) itu sumbernya dari Ki Hajar. Mudah-mudahan saya salah dalam memahami tulisan Anda itu.

        Saya mau belajar dari kebolehan studi dan kesimpulan serta semua ini . . . .

        Anyway banyak terima kasih.
        Dan saya acungkan jempol — terhadap keberanian Anda mengajukan masalah tsb.

        Salam takzim,

        I.I.

      2. Pak Isa jth.

        Terima kasih atas tanggapan Bapak, dan maaf baru sekarang sempat didjawab karena selama ini saja tidak sadar Bapak menulis komentar itu.

        Begini Pak. Ada dua hal jang harus dibedakan. Pertama ketertarikan KHD pada fasisme di Djepang dan Djerman itu bukan teori. Itu adalah kenjataan jang saja temuken dalam pelbagai publikasi Taman Siswa (baik »Poesara« maupun »Wasita«) pada tahun2 1930an. Demikian pula ketika KHD dipilih sebagai diktator dalem Taman Siswa. Itu adalah kenjataan belaka jang sudah saja uraiken pada artikel terdahulu, jaitu ini https://gatholotjo.wordpress.com/2011/10/11/soeharto-dan-diktator2-nusantara-lain-oleh-joss-wibisono/

        Selain itu, ketika berdiskusi di rumah Pak Mintardjo dulu (antara lain bersama Alpha dan Siswa dan Syahril) hal ini djuga sudah saja ungkapken. Mungkin waktu itu orang tidak terlalu melihat dampaknja, tapi keterkaitan dengen engkong harto sebenernja djuga sudah saja singgung.

        Nah, jang merupakan teori, dan itu teori saja, adalah kaitan antara engkong harto dengen KHD. Dalam sebuwah artikel lain (jang memang belum diumumken) saja memerintji keterkaitan itu jang antara laen dimulai dengen konsep “keluwarga” jang begitu dianggep sutji oleh KHD dan TS-nja. Dan seperti kita tahu UUD 45 itu djuga bernafasken kluwarga, antara laen disebut ekonomi berazas kluwarga. Itulah titik tolak pembahasan saja.

        Konsep kluwarga ini kemudian diplèsètken sama engkong harto djadi kluwarganja sendiri, termasuk mendjabarkannja dalem pengertian negara. Oleh engkong harto negara dianggep kluwarga, artinja dikepalai oleh bapak dan tida ada oposisi. Djadi dia sebenernja bukan hanja mendjiplaknnja tapi djuga memplesetken ini konsep. Begitulah kira2nja.

        Bisa sadja teori ini mengedjutken dan memberatken. Saja siap berdiskusi lagi, seperti jang dulu sudah kita lakuken di tempat Pak Min. Saja jakin saja bisa beladjar lebih banjak dari diskusi sematjem itu.

        Salam sedjahtera, Joss W.

    1. Hallo Mima makasech jach komentarmu. Tapi anehnja aku kan pakai kata elected (In 1930 Dewantara was also elected dictator of Taman Siswa.), lha kamunja kok paké kata proclaim (who proclaimed Dewantara in 1930 as dictator then?). Dia terpilih Mim dan bukan proclaim seperti jang kamu bilang. Jang pertama kali kasih tahu aku soal ini adalah mijnheer Jean. Kalow tertarik dan pingin batja lebih landjut, silahken batja jang ini azha: https://gatholotjo.wordpress.com/2011/10/11/soeharto-dan-diktator2-nusantara-lain-oleh-joss-wibisono/

      Trims jach Mim, sekali lagi.

  2. jadi.. jadi.. si kong harto terinspirasi Ki Hajar dalam membangun “keluarga hangat”? lalu.. lalu.. Ki hajar terinspirasi Jerman & Jepang. gitu, mas? wuahh, nggak orisinal dong kepribadian bangsa kita? 😀

  3. bisakah Mas Joss memaparkan bukti konkret terkait Fasisme dalam T.S, tentang pemilihan KHD juga sebagai pemimpin T.S dengan sistem voting..? saya tertarik dengan tulisan Mas Joss ini..setelah sempat Mas Joss paparkan dalam diskusi sebelum acara Saling Silang di Malang..terimakasih..

    1. Maulana silahken membatja artikel ini”https://gatholotjo.wordpress.com/2011/10/11/soeharto-dan-diktator2-nusantara-lain-oleh-joss-wibisono/
      Atow silahken batja buku saja jang baru terbit “Saling Silang Indonesia Eropa” Artikel di atas terbit dalam EYD (siapa tahu anda engga suka batja artikel tida dalem EYD).

  4. tentang konsep keluwarga di masa itu (kasus kalangan Arab Hadhramawt)

    Bagaimana konsep keluarga sepertinja merupakan issue jang umum wektu itu, mas. Setidaknja seperti jang dialami oleh komunitas imigran Arab Hadhramawt di awal abad 20. Kalo batja-batja koran milik dan terbitan mereka saat itu, banjak sekali ditemukan opini-opini jang menjangkut keluwarga dalam kaitannja dengan pendidikan. Kalangan Arab wektu itu memang sedang mengalami proses jang disebut sebagai Nahdlat al-Hadhramijja (diterdjemahkan oleh Natalie Mobini-Kesheh sebagai the Hadhrami Awakening). Jang menarik adalah bahwa dalam proses kebangkitan inilah identitas ras-agama (ke-Arab dan Islam-an) dan nasionalisme (ke-Indonesia-an) berdialektika untuk pertama kalinja. Implementasi semangat kebangkitan itu adalah tiga hal: 1. mendirikan organisasi-organisasi Arab, 2. mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak Arab, dan 3. mbikin surat chabar-surat chabar untuk kalangan mereka sendiri.

    Nah, bagaimana isu keluwarga dan pendidikan mereka dikampanjekan? Tiga institusi kebangkitan itulah alatnja. Tjontonja: banjak diopinikan di surat chabar-surat chabar mereka bahwa keluwarga adalah inti dari sebuah bangsa, bagaimana keluwarga (chususnja peran ibu) mendidik anak-anak mereka akan sangat menentukan bagaimana bangsa akan terdidik, pendidikan untuk kaum perempuwan (jang akan mendjadi tjalon ibu) akan menentukan pendidikan keluwarga (dan akhirnja pendidikan bangsa). Mereka mengkampanjekan kelas-kelas chusus untuk perempuwan di sekolah-sekolah. Kaum ibu-ibu Arab djuga bikin organisasi sendiri jang tudjuannja adalah pemberdajaan keluarga. Djadi, mas Joss, issue keluwarga dan pendidikan wektu itu memang kajaknya menjadi issue publik di tengah gentjarnya digagasnja issue nasionalisme. Pertanjaan isengnja adalah: apakah dengan memperkuat masjarakat berbasis kinship ini adalah tjara lain dari pemerintah kolonial untuk menangkal terbentuknja masjarakat berbasis ideologi (entah nasionalisme-keindonesiaan ataupun Islam-ummat-transnasional [wektu itu issue pan-Islamisme djuga djadi concern pemerintah Londo lho])? Ingat, waktu itu beberapa tokoh penting Arab Hadhramawt sangat deket dengan penguwasa Londo, bahkan Ratunja ada jang dibikinken puwisi pemudjaan pake bahasa melaju aksara Arab/pegon.

    Tapi pertanjaannja untuk blog ini adalah apakah jang dimaksud dengan konsep keluarga dalam kasus KHD dan Suharto ini sama apa berbeda dengan konsep keluwarganya orang Arab Hadhramawt tadi? Apakah hanja dengan alasan ada kesamaan (kalo memang sama) dalam hal penggunaan konsep keluwarga antara KHD dengan Soeharto mendjadi bukti jang tjukup kalo keduwanja sama-sama diktator-fasis?

    1. Hallo Kun, suwun jo komentarmu. Iki djawabanku, ning tjårå Indonesia waé jo, bèn iså diwåtjå såpå2.

      Sebenernja keterkaitan antara KHD dengen harto tidak hanja dalem soal kluwarga. Kluwarga memang titik awalnja, dan itu dengen bagusnja diperintji banget oleh peneliti Djepun Shiraishi Saya dalem bukunja jang berdjudul “Young Heroes: The Indonesian Family in Politics”. Dalem ini buku Shiraishi-sensei mengutip utjapan harto bahwa doi memang kena pengaruh KHD, dan utjapan itu dianalisa dengen tjakepnja oleh si penulis. Tapi kluwarga itu tjuman awalnja sadja. Sesudah itu misih ada beberapa faktor lagi.

      Pada alinea terachir tulisan di atas aku paling sedikit njebut tiga faktor lain jang tidak kalah pentingnja. Pertama KHD adalah pemimpin kuwat Taman Siswa (gelarnja diktator), terus bliow (bersama Soepomo) djuga berperan penting pada penjusunan UUD 45, dan konsitutusi itulah jang digunaken sebagai pengabsah 32 tahun kekuwasaan tangan besinja. Kemudian KHD djuga menolak pembedaan buruh dari madjikan, karena itu tadi: semuwanja dalem satu kluwarga, kata bliow. Kita tahu harto mengembangken pengertian ini dalem apa jang disebutnja “Hubungan Perburuhan Pancasila”, tida ada pembedaan antara buruh sama madjikan karena semuwanja ada dalem satu kluwarga jang bertekad untuk mensuksesken daripada pembangunan nasional.

      Djadi ada beberapa faktor kok, bukan tjuman kluwarga. Kalow tjuman kluwarga azha jach lemah sekali, enggak perlu bikin penelitian apalagi nulis buku.

      Selain itu djuga engga tertutup kemungkinan bahwa KHD kena pengaruh laen, misalnja pengaruh kalangan Hadhramawt dalem mangsalah kluwarga terutama, seperti jang sudah mbok tulis di atas. Tapi itu tidak aku temuken dalem penelitianku. Jang aku temuken adalah penegasannja KHD bahwa lembaga pendidikannja dibangun berdasarken konsep nasionalisme dan bukan agama (seperti sekolah Muhammadijah) atow suku (seperti THHKnja kalangan Tionghwa atow Jam’iyyah Khayr-nja kalangan Arab/Hadhramwt). Dalem hal ini KHD bilang bliow aken mentjoba sesuwatu jang baru, jang belon pernah ada di bumi Hindia, itulah sekolah berdasarken pada paham nasionalisme.

      Begitu Kun djawabanku, mudah2an bisa menghilangken daripada keraguanmu. Saleum.

Tinggalkan Balasan ke Kun Akaabir Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.