Versi terdahulu yang dalam EYD bisa dilihat di sini.
Kebebasan, terutama kebebasan berpendapat jang didjundjung tinggi di Belanda, sekarang dalam antjaman. Masalahnja sedjarawan dan kolumnis Thomas von der Dunk dibungkam. Dia dilarang bertjeramah soal persamaan antara Nazi di Djerman zaman dulu dengan PVV, partai kebebasan pimpinan Geert Wilders di Belanda zaman sekarang. Tentu sadja, PVV jang anti Islam itu termasuk salah satu pihak jang melarangnja. Untuk kita di Indonesia pidato Thomas von der Dunk ini relevan, terutama karena dia djuga menulis tentang upaja kemerdekaan kita jang dihalang-halangi oleh Belanda.
Dihukum mati
Arondéuslezing adalah tjeramah tahunan jang diselenggarakan oleh Provinsi Noord Holland dalam rangkaian peringatan pembebasan Belanda dari pendudukan Nazi Djerman, biasanja pada awal bulan Mei. Namanja diambil dari nama Willem Arondéus, seorang perupa Belanda jang ketika negeri Kintjir Angin diduduki Djerman, semasa Perang Dunia Kedua, bergabung dalam kelompok perlawanan. Setelah ikut meledakkan gedung Dinas Kependudukan di Amsterdam, ia dihukum mati oleh pasukan pendudukan Djerman. Untuk menghormati Willem Arondéus, maka tjeramah tahunan di Gedung Provinsi Noord Holland itu menjandang namanja.
Tjeramah itu ingin memberi tempat kepada warga dan politisi untuk bertukar pikiran dan berdebat dengan bebas bahkan kontroversial, tentang topik2 kemasjarakatan jang aktual dan relevan bagi Provinsi Noord Holland. Tetapi ketika tahun ini kolumnis dan sedjarawan Thomas von der Dunk ingin membeberkan persamaan antara Nazi jang menduduki Belanda semasa Perang Dunia Kedua dengan PVV jang sekarang punja kursi di parlemen Belanda, dia dibungkam. Mengapa demikian? Topiknja bukan sadja aktual tetapi djuga relevan. Tapi bukan itu masalahnja. Jang punja masalah adalah PVV, karena tjeramah itu dianggap men-djelek2kan partai pimpinan Geert Wilders ini.
Achirnja tjeramah itu diumumkan oleh harian pagi De Volkskrant, dipersingkat untuk edisi tjetak, lengkap pada edisi internet. Bagi kita di Indonesia tjeramah Thomas von der Dunk djuga relevan, karena dia dengan sinis mengedjek sikap pemeritah Belanda waktu itu, jang mati2an menghalangi kemerdekaan Indonesia. Tapi sebelum itu, per-tama2 perlu diuraikan gagasan dasar tjeramah Thomas von der Dunk.
Kontrak selesai
Prinsip kenegaraan pada sebuah negara demokratis didasarkan pada dua hal penting, demikian tulis Thomas. Pertama semua orang sama di hadapan hukum dan kedua trias politica jang digagas oleh filsuf Prantjis Charles de Montesquieu. Prinsip pertama artinja hukum tidak bisa hanja berlaku untuk kalangan tertentu, sedangkan prinsip kedua artinja: harus dipisahkan ketat wewenang pihak eksekutif, judikatif dan legislatif. Djadi seorang politikus tidak boleh tjampur tangan pada sidang pengadilan atau mempengaruhi keputusan hakim.
Menurut Thomas von der Dunk dulu, kedua prinsip itu sudah pernah dilanggar ketika Belanda diduduki Nazi Djerman selama Perang Dunia Kedua. Dan sekarang PVV, partai kebebasan pimpinan Geert Wilders, kembali berupaja melanggar prinsip kenegaraan ini. Djuga di Provinsi Noord Holland, karena PVV mengusulkan larangan mengenakan djilbab di tempat2 umum, sementara mengenakan kerudung bagi biarawati katolik atau penutup kepala pria Jahudi tidak dilarang. Ini berarti PVV tidak lagi mengakui kaidah semua orang sama di hadapan hukum.
Selain itu, Geert Wilders jang djuga mengusulkan supaja para hakim tidak lagi diangkat untuk seumur hidup, melainkan selama lima atau enam tahun. Sesudah itu kontraknja selesai, kalau selama bertugas mereka mendjatuhkan hukuman berat, baru mereka boleh diangkat lagi, kalau tidak, ja tidak perlu. Usul ini memang sudah ditolak parlemen Belanda, tetapi menurut Thomas von der Dunk, jang mengadjukannja djelas ingin supaja penguasa politik bisa mentjampuri proses hukum.
Chilafah Euro Arab
Thomas von der Dunk djuga melihat persamaan lain antara partai pimpinan Hitler dengan PVV pimpinan Geert Wilders. Misalnja Nazi anti Jahudi, sedangkan PVV anti Islam. Dulu, Nazi pertjaja adanja komplotan orang Jahudi jang bertudjuan untuk menghantjurkan Djerman. Sekarang Wilders beranggapan orang2 Islam akan mendirikan chilafah Euro Arab. Bagi Nazi, Djerman hanja untuk orang Djerman, seperti bagi Wilders, Belanda hanja untuk orang Belanda. Kemudian baik Nazi maupun PVV menginginkan sosok pemimpin kuat jang tidak terbantahkan lagi.
Selain itu Thomas von der Dunk djuga mengamati adanja persamaan antara PVV dengan NSB, ini partai politik Belanda jang menjambut Djerman ketika menduduki Belanda selama Perang Dunia Kedua. Dulu orang Belanda bisa mendjadi anggota NSB, tapi sekarang PVV tidak terima anggota. Anggota PVV tjuma satu, itulah Geert Wilders jang sekaligus djuga pemimpinnja.
Tidak beladjar
Jang tidak dimengerti oleh Thomas von der Dunk adalah bagaimana mungkin Belanda jang baru bebas dari pendudukan Djerman bisa melarang Indonesia merdeka darinja, bahkan sampai menggunakan kekerasan jang berlebihan. Waktu itu, demikian Thomas, hanja sedikit orang jang melihat bahwa karena baru sadja bebas dari pendudukan, Belanda sebenarnja tidak punja hak melarang orang lain untuk djuga merdeka. Tapi jang terdjadi adalah, bangsa jang baru merdeka itu langsung melantjarkan perang neokolonial. Ini berarti dia tidak beladjar banjak dari pendudukan jang baru sadja dialaminja.
Di sinilah Thomas von der Dunk melihat Belanda telah mengalami perubahan, dari bangsa korban mendjadi bangsa pelaku. Perubahan seperti itu sebenarnja sering terdjadi, misalnja Israel terhadap Palestina. Tetapi di Belanda, dalam soal Indonesia, itu terdjadi sangat tjepat dan bertahan begitu lama.
Pada tahun 1990an, ketika banjak veteran memprotes kedatangan Poncke Princen, aktivis hak2 asasi manusia Indonesia jang membelot semasa perang kemerdekaan, terbukti betapa orang Belanda belum punja pandangan sedjarah jang berimbang. Sikap Belanda baru berubah pada Abad 21, 60 tahun setelah peristiwanja, ketika Menteri Luar Negeri Bernard Bot, atas nama pemerintah Den Haag, mengakui bahwa pada saat perdjuangan kemerdekaan Indonesia dulu, Belanda berada di sisi salah sedjarah.
Selama 60 tahun itu Belanda selalu pertjaja dirinja tjinta damai. Padahal di Hindia Belanda, pada periode sebelum Perang Dunia Kedua, dalam upaja menaklukkan wilajah2 Hindia lain, Belanda melantjarkan bandjir darah jang mengerikan. Thomas von der Dunk mentjatat bagaimana di Bali tetara Belanda djuga menembaki kaum perempuan. Di sini terlihat, demikian Thomas, bagaimana Belanda jang kolonial itu mentjampur aduk djiwa pedagang, kebiadaban budaja dan semangat zending jang hipokrit.
1200 orang
Belanda selalu kesulitan mengakui tindak kekerasannja sendiri di Indonesia. Perang kolonialnja setelah proklamasi 17 Agustus selalu disebut sebagai politionele actie, aksi polisi. Perlawanan terhadap kekuasaannja selalu ditangani oleh polisi, bukan politik. Padahal jang aktif adalah tentara jang berisi para pewadjib militer. Kalau perilaku militer itu melampaui batas, tjuma disebut “ekses”, tidak pernah disebut kedjahatan perang. Di atas semuanja, jang oleh orang Belanda disebut perang itu tjuma mentjakup Perang Dunia Kedua, dan bukan ulahnja memerangi Indonesia jang berupaja untuk merdeka.
Sebagai penutup patut ditanjakan, kenapa dalam menelandjangi PVV Thomas von der Dunk tetap merasa perlu untuk menjinggung2 perang kemerdekaan Indonesia? Itu tidak lain karena Wilders punja latar belakang Indonesia. Neneknja jang lahir di Indonesia itu orang Indo, artinja berdarah tjampuran Indonesia Belanda. Kalangan Indo inilah jang paling menentang kemerdekaan Indonesia.

Thomas von der Dunk sendiri achirnja tetap berpidato, bukan di gedung provinsi Noord Holland, di kota Haarlem; melainkan di lapangan Haarlemerhout, di depan gedung itu. Hadirin jang datang mentjapai 1200 orang, djumlah jang ber-kali2 lebih besar dibandingkan kalau pidato itu dilakukan di dalam gedung provinsi.