Versi lain (dan dalem EYD) nongolnja di Tempo edisi 29 Djuli
Bajangkan Indonesia tanpa bahasa nasional, atau tepatnja bajangkan bahasa Indonesia itu tidak ada. Bagaimana kita akan berkomunikasi dari Sabang sampai Merauke? Bagaimana pula orang Atjeh bisa memahami orang Papua? Djangankan Atjeh di Sumatra dan Papua di Indonesia timur sebagai dua pulau jang terpisah itu; tanpa bahasa nasional warga satu pulau sadja tampaknja sudah akan kesulitan untuk bisa saling bertutur kata. Di Sumatra sadja: bagaimana orang Atjeh di wilajah utara harus menjapa orang Lampung di selatan? Dengan bahasa apa mereka bertegur sapa? Kiranja djelas, bagi kita tiadanja bahasa Indonesia tak akan pernah terbajangkan.
Bahasa nasional kita memang lajak dibanggakan djuga karena kita tak perlu berbahasa Belanda, si bekas pendjadjah. Sudah sedjak dulu kala nenek mojang kita di seantero Nusantara punja bahasa pengantar untuk berdagang, itulah bahasa Melajoe. Bahasalah awal nasionalisme Indonesia. Dan seperti kita tahu, pada 1928 para pemuda progresif memaklumkannja sebagai bahasa nasional, selain satu tanah air dan satu bangsa. Adakah penegasan bahasa nasional itu djuga berarti penolakan bahasa Belanda?
Pertanjaan seperti ini akan menarik kalau kita menoleh ke negara2 Asia Tenggara lain jang senasib dengan kita karena pernah didjadjah. Filipina misalnja, sulit dikatakan punja bahasa nasional. Dibakukan dengan nama Filipino, bahasa Tagalog tetap tidak diterima oleh segenap warganja, karena itu mereka djuga menggunakan bahasa Inggris, warisan Amerika, pendjadjah berikut setelah Spanjol. Di Malaysia, bahasa Malaysia djuga tidak sepenuhnja diterima oleh kalangan Tionghoa, India, dan warga Dajak Sarawak. Bahasa ini dianggap hanja milik warga majoritas Melaju. Alhasil, Malaysia djuga harus memberlakukan bahasa kedua, tidak lain bahasa bekas pendjadjah Inggris. Hal serupa djuga terdjadi di Singa-pura2, bahasa Inggris digunakan karena keturunan India dan Melaju tidak berbahasa Mandarin, bahasa majoritas warganja. Setelah keluar dari NKRI (jang konon harga mati itu), Timor Leste melupakan bahasa Indonesia dan berpaling pada bahasa Portugis, pendjadjah awalnja, walau bahasa Tetun terus dikembangkan.
Mungkin pengalaman Vietnam dan Myanmar lebih mirip pengalaman kita. Begitu merdeka dari Prantjis, Vietnam djuga tjabut dari Indochine jang sempat menjatukannja dengan Kambodja dan Laos. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk djuga menjisihkan bahasa Prantjis, ketika bahasa Vietnam diangkat mendjadi bahasa nasional. Begitu merdeka, penguasa militer Birma jang nasionalis fanatik mentjampakkan bahasa Inggris, jang bagi mereka tidak lebih dari sisa kolonialisme. Ditambah isolasi dari dunia luar, dalam dua generasi praktis warganja tidak fasih lagi berbahasa Inggris. Sebenarnja, baik di Vietnam maupun di Myanmar pembentukan bahasa nasional djuga berarti penjingkiran banjak bahasa minoritas. Inilah jang membedakan kita dengan keduanja. Bahasa Indonesia tumbuh bersama bahasa daerah, bahkan setelah orde bau bubar, media massa daerah dengan bahasa setempat mendjamur di mana2.
Tak pelak lagi, pengalaman kita bisa memiliki bahasa nasional adalah pengalaman unik jang tak ada duanja di Asia Tenggara, bahkan mungkin di manapun djua. Bahasa Indonesia mendjadi bahasa nasional bukan lantaran kewadjiban atau penentuan dari atas, tapi karena kemauan kita bersama, dan ini berarti tidak perlu mengorbankan bahasa daerah manapun djuga. Bahkan keduanja, bahasa Indonesia dan bahasa daerah bisa hidup bersama, tanpa bersaing atau saling meniadakan. Jang mungkin lebih penting lagi adalah tidak ada satu kalanganpun jang mempermasalahkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, djuga tidak orang Djawa jang merupakan majoritas. Ini djelas beda dengan Filipina misalnja, karena warga Luzon Utara ternjata lebih memilih bahasa Inggris ketimbang Filipino.
Ketika masih dikuasai Spanjol, Filipina wadjib berbahasa pendjadjah itu. Sebagai Indochine: Vietnam, Laos dan Kambodja wadjib berbahasa Prantjis. Malaysia dan Birma setali tiga uang, London mewadjibkan bahasa Inggris bagi kedua djadjahannya di Timur Djauh itu. Timor Timur djuga begitu, sebelum diprovinsikan oleh Indonesia (di bawah orde bau), bahasa Portugis bukan sadja merupakan bahasa pemerintahan tapi djuga diadjarkan di sekolah2 Timor Portugis itu. Karena mewadjibkan, penguasa kolonial djuga menjediakan anggaran pendidikan bahasa. Prantjis misalnja melantjarkan apa jang disebut mission civiliçatrice (misi pembudajaan) untuk menjebarkan budaja (batja: bahasa) Prantjis di djadjahannja, termasuk Indochine.
Sebaliknja, Belanda tak pernah mewadjibkan Nusantara berbahasa mereka. Dalihnja Hindia sudah punja lingua franca, tapi djelas dengan mendjalankan kolonialisme pengerukan Den Haag lebih tertarik menguras kekajaan alam kita (misalnja melalui Tanam Paksa) ketimbang mengadjarkan bahasa Belanda. Padahal seperti Spanjol, Prantjis, Inggris atau Portugal, Belanda sebenarnja djuga bisa menerapkan kewadjiban berbahasa Belanda di seantero Nusantara.

Pada abad 20, politik pendjadjahan Belanda berubah. Den Haag melantjarkan Politik Etis, antara lain dengan membuka sekolah jang mengadjarkan bahasa Belanda. Tapi ternjata bahasa Belanda tidak diadjarkan setjara luas. Pertama pendidikan itu hanja untuk bangsawan serta kaum elit terpandang, bukan untuk rakjat djelata. Kedua, pengadjaran bahasa Belanda masih djuga dibedakan dari bahasa Belanda sebagai bahasa asing (untuk inlanders bumiputra murid H.I.S., Hollandsch Inlandsche School) dan bahasa Belanda sebagai bahasa ibu (untuk keturunan Eropa kulit putih, murid E.L.S., Europeesche Lagere School). Tentu sadja dengan bahasa pengantar Belanda, murid E.L.S. memperoleh lebih banyak waktu untuk beladjar bahasa pendjadjah ketimbang murid H.I.S. jang menerima pengadjaran dalam bahasa Melajoe.
Walau begitu, harus diakui pribumi jang fasih berbahasa Belanda memang meningkat, sampai awal 1920an peningkatan itu mentjapai 10 kali lipat lebih. Ini memang terasa banjak, tapi njatanja, ketika pada achir 1940an pendjadjahan Belanda resmi berachir, djumlah pribumi jang fasih bahasa Belanda mentjapai 1,4 djuta orang, tidak lebih dari dua persen seluruh penduduk Hindia Belanda.

Ini berarti kita bisa memiliki bahasa nasional karena memang penguasa kolonial tidak menghendaki Hindia Belanda berbahasa Belanda. Bisa sadja kita menganut pendapat bahwa ketahanan bahasa kita begitu luar biasa, termasuk hal2 jang herois nasionalis lain, tapi jang djelas bahasa Melaju tidak pernah disaingi oleh bahasa manapun, karena dulu bumiputra inlanders memang tidak diwajibkan berbahasa Belanda. Maka dari itu, kalau ada orang Indonesia sampai mentjibir Filipina karena tidak punja bahasa nasional, djelas dia tidak punja wawasan sedjarah. Jang tidak dipahami oleh orang Indonesia seperti itu adalah bahwa politik bahasa pendjadjah Spanjol dulu memang mengharuskan penduduk Filipina berbahasa Spanjol.
Dapet dorongan nulis ini kolom lantaran artikelnja Oom Ben jang ini.
2 pemikiran pada ““Bahasa Nasional” oleh Joss Wibisono”