Versi lain (dan dalem EYD) nongolnja di Tempo edisi 2 September 2013
Sungguh tak terduga kolom saja “Bahasa Nasional” (Tempo, 29 Djuli-4 Agustus 2013) mendapat tanggapan kalangan akademis! Dosen UI, Kasijanto Sastrodinomo dalam kolom berdjudul “Satu Bangsa Satu Bahasa” (Tempo 19-25 Agustus 2013) membenarkan pendapat saja. Pendapatnja jang simpatik terbatja sebagai adjakan untuk berbalas pantun. Berikut sekedar “pantun balasan” itu.
Dalam “Bahasa Nasional” sudah saja djelaskan pendirian penguasa kolonial Belanda dulu bahwa bahasanja hanja untuk kalangan elit dan tidak untuk kaum inlanders, bumiputra tanah djadjahan. Djuga bagaimana pendirian ini merupakan kelainan kalau dibanding pendjadjah Eropa lain. Berikut saja berniat untuk mendjelaskan bahwa pendirian itu sama sekali tidak berarti Belanda dulu berpangku tangan sadja dalam urusan bahasa. Lingua franca Hindia Belanda mereka djadikan sasaran. Semula mungkin tjuma iseng, tapi pada achir abad 19 obok2 bahasa Melajoe itu djadi serius, sampai achirnja, pada 1901, keluar peraturan edjaan Van Ophuysen. Kenapa ini mereka lakukan? Apa perlunja mengutak-atik bahasa kaum inlanders, kalau mereka sendiri tidak ingin kalangan terdjadjah itu fasih berbahasa Belanda?
Bagaimanapun djuga penguasa, tak terketjuali penguasa kolonial, perlu berkomunikasi dengan rakjat jang dikuasainja. Misalnja penguasa kolonial Belanda perlu berkorespondensi dengan para penguasa tradisional para inlanders dan djuga dengan pemimpin kalangan Tionghwa, jang disebut Kapitein der Chinezen. Dalam bahasa apa surat menjurat itu dilangsungkan? Penguasa kolonial djuga perlu bahasa untuk menjampaikan keputusan pengadilan atau mengumumkan djadwal kereta api. Lebih dari itu, ketika pada abad 20 penguasa kolonial membuka pendidikan untuk kalangan bumiputra, mereka djuga harus memutuskan dalam bahasa apa proses beladjar mengadjarnja akan diselenggarakan.
Tidaklah mengherankan kalau penguasa kolonial tetap merasa perlu untuk menjibukkan diri dengan bahasa. Apalagi bahasa Melajoe memiliki variasinja sendiri pada tiap2 daerah dan golongan. Bahasa Melajoe Ambon di Maluku misalnja, berbeda dengan bahasa Melajoe kalangan Tionghwa di Djawa, sementara bahasa Melajoe di Medan djuga lain lagi. Mendjelang pergantian abad 19 ke abad 20, pelbagai variasi bahasa Melajoe ini djuga sudah ada dalam bentuk tulisan, melalui pelbagai buku atau berkala lain. Tak perduli dengan pelbagai variasi itu, Belanda memilih satu sadja, mereka bakukan bahasa Melajoe.
Bisa dibilang inilah awal tjampur tangan mereka. Untuk keperluan ini mereka pilih bahasa Riau, jang mereka sebut Riouw Maleisch. Baru belakangan muntjul banjak ketjaman terhadap pilihan ini. Maklum kriterianja tidak djelas dan ternjata jang disebut bahasa Melajoe Riau itu djuga berasal dari naskah2 setempat, bukan bahasa jang benar2 digunakan dan hidup di tengah2 masjarakat Riau. Jang djelas penetapan satu bahasa baku itu menjebabkan tersisihnja dialek2 Melajoe lain.

Pengawasan penggunaan Melajoe Tinggi dipertjajakan pada Kantoor voor Volkslectuur jang didirikan tahun 1917, kemudian dikenal sebagai Balai Poestaka. Penerbit dan pertjetakan pemerintah kolonial ini bukan hanja menerbitkan buku, tetapi djuga menjebarkan bahasa Melajoe Tinggi dan, lebih penting lagi, mengawasi bahasa Melajoe jang digunakan oleh masjarakat. Pegawainja (antara lain Armijn Pané) tak henti2nja mengetjam pelbagai dialek Melajoe lain, terutama Melajoe Tionghwa, jang dituding sebagai bahasa liar. Entah bagaimana, ternjata banjak orang Minangkabau bekerdja di sana, sehingga logat Sumatra Barat (dan bukan hanja Riau) djuga merasuk dalam pelbagai terbitan Balai Poestaka. Ada jang berpendapat karena Riouw Maleisch begitu kaku, sampai2 tidak ada naskah jang memenuhi kriterium ini.

Mungkin sadja penjertaan Melajoe Minangkabau bisa meluweskan bahasa Balai Poestaka, tapi djelas bahasa ini tetap kaku dan djauh dari bahasa se-hari2 jang digunakan orang di mana2. Mungkin inilah sebabnja mengapa bahasa Indonesia jang mewarisi bahasa Balai Poestaka itu djuga djauh dari bahasa se-hari2, misalnja jang sekarang dikenal sebagai bahasa gaul. Perbedaan bentuk formal dan informal ini tampaknja memang paling djelas dalam bahasa Indonesia, apalagi kalau dibandingkan dengan bahasa daerah.
Di luar satu2nja kompromi itu, Balai Poestaka menerapkan sjarat ketat bagi naskah2 jang akan diterbitkannja. Jang pertama dan utama naskah2 itu dilarang menggunakan kata “Indonesia”, maksimal jang diperbolehkan hanjalah “Hindia”. Selain itu naskah2 jang masuk djuga tidak boleh berisi hal2 jang dianggap melanggar susila. Tentu sadja standar susilanja adalah apa jang berlaku di Eropa pada awal abad 20 (itupun sebenarnja terus berubah) jang asing bagi Hindia.
Jang paling penting naskah2 itu tidak boleh berisi aspirasi Indonesia merdeka. Kata kuntji buku2 Balai Poestaka adalah modernisasi jang paling banter hanja boleh berisi pertentangan Timur Barat, dan Timurnja djuga tidak boleh langsung menang. Maka lahirlah apa jang kita kenal sebagai Angkatan Balai Poestaka dengan penulis2 seperti Marah Roesli, Nur Sutan Iskandar dan Abdoel Moeis.

Tidaklah mengherankan kalau para penulis pribumi jang mendambakan kemerdekaan Indonesia tersisihkan. Bukankah nama2 seperti Marco Kartodikromo, Semaoen serta Tirto Adhi Soerjo tidak banjak dikenal orang? Begitu pula penulis Tionghwa seperti Njoo Cheong Seng, atau penulis Indo (berdarah tjampuran) seperti H. Kommer. Bahasa mereka bukan sadja dekat dengan bahasa lisan se-hari2, sebagai penulis mereka terutama djuga tak henti2nja mengganggu gugat kolonialisme Belanda. Sulit dibantah: Balai Poestaka memang bertudjuan mentjoret nama mereka.
Tidak membuat pribumi berbahasa Belanda, penguasa kolonial djustru melantjarkan politik bahasa Melajoe jang intinja adalah pengekangan dan penjingkiran. Betapa penjingkiran itu begitu berhasil, karena ketika merdeka, bukan sadja kita lama sekali melupakan penulis2 jang sengadja disingkirkan di zaman kolonial. Walaupun sudah membuwang edjaan Van Ophuysen, kita tetap sadja me-mudja2 angkatan Balai Poestaka sebagai awal sastra Indonesia. Bahkan hari lahir Abdoel Moeis, jang dalam karjanja tidak pernah beraspirasi Indonesia merdeka, kita nobatkan sebagai hari sastra Indonesia.
Kalow tertarik en mau menekuni ini topik lebih landjut, silahken batja tulisan2 berikut:
1. Elizabeth Chandra: “Fantasizing Chinese/Indonesian Hero : Njoo Cheong Seng and the Gagaklodra Series“.
2. Keith Foulcher: “Biography, history and the Indonesian novel Reading Salah Asuhan” [dalem Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 161-2/3 (2005):247-268 2005 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde] (Bisa ditjari pada google)
3. Hilmar Farid Setiadi: “Kolonialisme dan Budaya: Balai Poestaka di Hindia Belanda”, Prisma 10 (Oktober 1991), halaman 23-41.
4. Doris Jedamski: “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing”
5. Henk Maier: “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-Malay Literature”
6. Henk Maier: “From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies.”