Klow bisanja tjuman batja edjaan orde bau EYD, silahken ngeklik ini.

Menerdjemahkan sebuah karja tulis adalah mentjari padanan kata, kalimat atau ungkapan bahasa jang digunakan untuk menuangkan karja itu ke dalam bahasa lain. Padanan di sini mensjaratkan persamaan jang setaraf, jang berimbang atau jang berbobot sama. Lebih dari itu, penerdjemahan djuga mensjaratkan pemahaman nuansa sebuah tulisan; terdjemahan jang berhasil akan berhasil pula menerdjemahkan nuansa sebuah karja, apalagi kalau karja itu berbobot sastra.
Nuansa inilah jang sulit ditemukan pada terdjemahan Sulastin Sutrisno atas surat2 Kartini. Kartini menulis surat2nja dalam bahasa Belanda, dan mendiang Sulatin Sutrisno, gurubesar filologi Universitas Gadjah Mada, menerdjemahkan surat2 itu dalam dua buku, masing2 Surat2 Kartini, renungan tentang dan untuk bangsanja, terbit 1979 dan Surat2 kepada njonja R.M. Abendanon-Mandri dan suaminja, terbitan 1989. Buku terachir lebih lengkap dari buku sebelumnja. Terdjemahan Sulastin bisa sadja benar kata per kata, tetapi sajangnja sang guru besar tidak begitu mementingkan bobot kata2 pilihan Kartini. Tanpa nuansa, terdjemahan surat2 Katini mendjadi ber-belit2 dan sulit dipahami, apalagi oleh pembatja zaman sekarang.

Bahasa Belanda Kartini bukan hanja sempurna dan tanpa satupun kesalahan, lebih dari itu dia djuga menulis dalam gaja sastrawi. Banjak orang Belanda ter-heran2 membatjanja: bagaimana mungkin seorang gadis Djawa jang hanja berpendidikan sekolah dasar Belanda, ditambah les privat bahasa Belanda, bisa menulis begitu sempurna, bergaja literer pula?
Sampai medio 1980an, almarhum profesor Andries Teeuw, gurubesar sastra Indonesia pada universitas Leiden, berpendapat bahwa “tidak dapat tidak bahasa Belandanja disunting, disempurnakan dan disesuaikan dengan gaja chas literer oleh Tuan Abendanon jang bertanggung djawab atas publikasi surat2 itu” [Teeuw, 1994: 103]. Baru pada 1986 profesor Teeuw “terpaksa meninggalkan praduganja” ketika membatjai surat2 asli tulisan tangan Kartini. Di situ didapatinja bahwa “tak sepatah atau setitik pun diubah oleh Abendanon”. Teeuw mengakui bahwa Kartini memang dengan sempurna menguasai dan memanfaatkan bahasa Belanda gaja chas itu — sesuatu jang sangat dikaguminja.
Esai ini akan berupaja menundjukkan kehebatan Kartini menulis dalam bahasa Belanda sastrawi. Selain itu djuga ingin ditilik seberapa djauh dalam menerdjemahkan surat2 Kartini, Sulastin Sutrisno djuga memahami betapa luar biasa bahasa Belandanja. Satu hal jang segera tampak begitu orang membatja kata pengantar Sulastin adalah bahwa gaja bahasanja sangat berbeda dengan gaja bahasa Kartini.
Kartini adalah penulis bumiputra Hindia pertama jang berkarja dalam bahasa Belanda sastra. Tak ada penulis bumiputra lain jang mendahuluinja. Djustru tak sedikit penulis jang mengikuti djedjaknja, antara lain dua saudara sepupu Pakualaman jaitu Noto Soeroto dan Soewardi Suryaningrat, jang terachir ini kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Dalam pamflet berdjudul Als ik eens Nederlander was (seandainja dalam sekedjap sadja aku ini orang Belanda, terbit 1913), Soewardi melandjutkan sinisme jang sudah dimulai Kartini ketika pada 1899 dari Djepara dia menulis “noem mij maar Kartini” atau panggil sadja aku Kartini.
Bagaimana harus menerdjemahkan bahasa sastra Kartini? Ini bukan perkara gampang. Sebagai tjontoh berikut kalimat kedua pada alinea pertama surat pembuka (tanggal 25 mei 1899) jang dikirim Kartini [1923: 1] kepada Stella Zeehandelaar: “Ik gloei van geestdrift voor de nieuwe tijd en ja, ik kan wel zeggen, dat wat denken en voelen betreft, ik den Indische tijd niet meeleef, doch geheel die mijner vooruitstrevende blanke zusters in het verre Westen.”
Terdjemahan Sulastin [1985: 1]: Hati saja me-njala2 karena semangat jang menggelora akan zaman baru. Ja, bolehkan saja katakan, bahwa dalam hal pikiran dan perasaan, saja tidak turut menghajati zaman Hindia ini, tetapi saja sama sekali hidup sezaman dengan saudara2 saja perempuan berkulit putih di Barat jang djauh.
Terdjemahan saja: “Aku membara terbakar hasrat zaman baru, dan ja, dapat kukatakan, tentang berpikir dan berasa, aku tak lagi hidup di Hindia, tapi sepenuhnja bersama saudari2ku kulit putih jang berpandangan madju di Barat nun djauh di sana”.
Membatja terdjemahan Sulastin kita lajak bertanja, dari mana kata hati pada hati saja me-njala2? Kartini hanja menulis “ik gloei” jang saja terdjemahkan mendjadi “aku membara”; djelas tidak ada kata hati (bahasa Belanda hart) di situ. Maka terlihat bahwa dalam terdjemahan Sulastin hanja hati Kartini jang menginginkan zaman baru, bukan lagi pribadi Kartini setjara keseluruhan. Padahal bukan itu jang tertera dalam surat kepada mejuffouw (nona) Zeehandelaar. Tak pelak lagi sudah pada kalimat kedua ini Kartini berubah mendjadi tidak langsung, dia, dengan kata lain, telah disamarkan. Kemudian lajak djuga untuk bertanja mengapa gloei diterdjemahkan sebagai “me-njala2” lajaknja lampu sadja?
Dan jang agak parah, ternjata Sulastin tidak menerdjemahkan satu kata kuntji: “vooruitstrevende” alias berpandangan madju. Kalau Kartini menulis mijner vooruitstrevende blanke zusters in het verre Westen (saudari2ku kulit putih jang berpandangan madju di Barat), maka menurut terdjemahan Sulastin itu mendjadi “saudara2 saja perempuan berkulit putih di Barat”. Dengan kata lain dalam terdjemahan Sulastin Kartini berubah djadi menundjuk pada semua perempuan kulit putih di Barat, bukan hanja mereka jang berpandangan madju sadja. Bagaimana ini mungkin? Terdjemahan seperti ini telah menjebabkan tulisan Kartini kehilangan nalar, sehingga tidak masuk akal lagi.

Sebagai tjontoh lain bisa dikemukakan dua paragraf tentang agama, seperti tertera dalam surat kepada Stella Zeehandelaar tanggal 6 November 1899 [Kartini, 1923: 21]:
“Godsdienst is bedoeld als een zegen voor de mensheid, om een band te vormen tussen alle schepselen Gods. Allen zijn we broers en zusters, niet omdat wij dezelfde menselijke ouders hebben, maar omdat wij allen kinderen zijn van één Vader, van Hem, die daarboven in de hemelen troont. Broers en zusters moeten elkaar liefhebben, helpen, sterken, steunen. O, God, soms zou ik wensen, dat er nooit een godsdienst had bestaan. Want deze, die juist alle mensen tot één verenigen moest, is door alle eeuwen heen oorzaak geweest van strijd en verdeeldheid, van de bloedigste en gruwelijkste moordtonelen. Mensen van dezelfde ouders staan dreigend tegenover elkaar, omdat de wijze, waarop zij één en dezelfde God dienen, van elkaar verschilt. Mensen, wier harten door de tederste liefde met elkaar verbonden zijn, keren zich diep ongelukkig van elkaar af. Verschil van kerk, waarin toch dezelfde God wordt aangeroepen, richt een scheidsmuur voor beider voor elkaar luid kloppende harten.”
“Is godsdienst wel een zegen voor de mensheid? vraag ik me zelf dikwijls twijfelend af. Godsdienst, die ons voor zonden bewaren moet, hoeveel zonden juist worden niet onder Uw naam bedreven!”
Sulastin [1985: 18-19] menerdjemahkan dua alinea di atas sebagai berikut:
“Agama dimaksudkan sebagai berkah untuk kemanusiaan; untuk mentjiptakan pertalian antara semua machluk Tuhan. Kita sekalian bersaudara bukan karena kita seibu-sebapa kelahiran manusia, melainkan oleh karena kita anak seorang Bapak, anak Dia, jang bertachta di atas langit. Ja Tuhan, kadang2 saja berharap, alangkah baiknja, djika tidak pernah ada agama. Sebab agama jang seharusnja djustru mempersatukan semua manusia, sedjak ber-abad2 mendjadi pangkal perselisihan dan perpetjahan, pangkal pertumpahan darah jang sangat ngeri. Orang2 seibu-sebapa antjam-mengantjam berhadap2an, karena berlainan tjara mengabdi kepada Tuhan Jang Esa dan Jang Sarna. Orang2 jang ber-kasih2an dengan tjinta jang amat mesra, dengan sedihnja bertjerai-berai. Perbedaan geredja, tempat menjeru Tuhan Jang Sarna, djuga membuat dinding pembatas bagi dua hati jang berkasih2an.
“Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia?, tanja saja kerap kali dengan bimbang kepada diri saja sendiri. Agama jang harus mendjauhkan kita dari berbuat dosa, djustru berapa banjaknja dosa jang diperbuat atas nama agama itu!”
Terdjemahan saja:
“Agama bertudjuan memberi berkah bagi umat manusia, untuk membentuk ikatan di antara semua machluk tjiptaan Tuhan. Kita semua bersaudara, bukan karena kita berasal dari orang tua manusia jang sama, melainkan karena kita semua adalah anak bagi satu Ajah jang sama, Dia jang bertahta di sorgaloka. Kakak beradik harus saling menjajangi, saling menolong, saling memperkuat, saling membantu. Oh Tuhan, kadang2 aku ingin supaja agama itu tidak usah ada sadja. Karena agama jang seharusnja menjatukan semua manusia, ternjata selama ber-abad2 malah sudah merupakan sebab bagi pertikaian dan perpetjahan jang menjebabkan pembantaian paling ber-darah2 dan kedji. Mereka jang memiliki orang tua jang sama mengantjam satu sama lain, karena tjara mereka berbeda dalam menjembah satu dan Tuhan jang sama itu. Hati mereka jang terkait kasih jang begitu lembut, berbalik dalam nestapa saling melawan. Perbedaan rumah ibadah, jang seharusnja menjembah Tuhan jang sama, telah menjebabkan tembok pemisah bagi kedua pihak, bagi kedua djantung jang sama2 berdetaknja.”
“Adakah agama berkah bagi umat manusia? Begitu aku sering bertanja pada diri sendiri dengan penuh keraguan. Agama jang seharusnja menjelamatkan kita dari dosa — achirnja harus berapa banjak dosa lagi jang dibuat atas namaMu?”
Setelah dua kalimat awal jang tjukup bisa dimengerti (walaupun tidak tertutup kemungkinan ada jang mempertanjakan potongan “seibu-sebapa kelahiran manusia”), segera terlihat terdjemahan Sulastin mengabaikan satu kalimat. Dia telah mengabaikan “Broers en zusters moeten elkaar liefhebben, helpen, sterken, steunen” jang saja terdjemahkan mendjadi “Kakak beradik harus saling menjajangi, saling menolong, saling memperkuat, saling membantu.” Tentu kita bisa mentjatat bahwa kalau dalam tjontoh pertama di atas hanja satu kata jang tidak diterdjemahkan, pada tjontoh kedua ini satu kata itu telah berkembang mendjadi tidak diterdjermahkannja satu kalimat penuh. Bagaimana ini mungkin? Mengapa pula ini terdjadi?
Kalimat berikut djuga tidak luput dari masalah karena Sulastin memasukkan dua kata, jaitu “alangkah baiknja” jang tidak ada pada kalimat asli Kartini. Di surat Kartini tertera O, God, soms zou ik wensen, dat er nooit een godsdienst had bestaan. Intinja Kartini kadang2 berharap agama itu tidak ada sadja, dan ini saja terdjemahkan mendjadi “Oh Tuhan kadang2 aku ingin supaja agama itu tidak usah ada sadja”. Karena disisipkan “alangkah baiknja” jang tidak ada pada surat Kartini, maka harapan agama tidak ada ini seperti diutarakan setjara tidak langsung, se-olah2 Kartini sendiri ragu2, karena dia tidak langsung sadja menuliskan keinginannja agama itu tidak ada sadja. Kalimat berikut djuga tetap bermasalah karena Sulastin tidak menerdjemahkan “moordtonelen” jang saja terdjemahkan sebagai “pembantaian”. Bahkan “pembunuhan” pun tidak digunakannja. Kembali di sini terlihat satu kata jang dilewati begitu sadja.
Lagi2 kalimat sesudah itu tidak djuga bebas dari masalah, terutama pada penggalan “waarop zij één en dezelfde God dienen”. Taat pada penggalan itu, saja menerdjemahkannja mendjadi “menjembah satu dan Tuhan jang sama itu”. Sedangkan Sulastin dengan bombastisnja menulis “mengabdi kepada Tuhan Jang Esa dan Jang Sarna”. Saja sebut bombastis karena bukan sadja Sulastin menggunakan huruf besar untuk tiga kata lain selain Tuhan (dan itu tidak ada dalam tulisan asli Kartini), tapi terutama karena almarhumah djuga mengkaitkan terdjemahannja dengan tjorak politik jang bangkit di Indonesia djauh setelah Kartini menulis surat2nja.
Tak pelak lagi terdjemahan Sulastin sangat mirip dengan rumusan Pantjasila jang baru dikemukakan oleh Bung Karno pada pidato tanggal 1 djuni 1945. Sedangkan Kartini menulis kalimatnja itu pada tanggal 6 november 1899, sangat djauh sebelum BK berpidato. Pantaskah terdjemahan surat Kartini disamakan perumusannja dengan pidato BK? Menerdjemahkan djelas bukan menulis pidato politik, menerdjemahkan per-tama2 adalah mengalihbahasakan sebuah tulisan ke dalam bahasa lain dengan tepat dan teliti, djelas itu bukan berpolitik langsung.
Melihat terdjemahan Sulastin jang pertama kali terbit pada 1979, lajak pula disimpulkan bahwa proses penerdjemahan itu berlangsung pada tahun 1970an tatkala harto dan orde baunja masih begitu tegak berkuasa. Tidak terelakkan lagi Sulastin pasti djuga dipengaruhi oleh ideologi rezim kanan bertangan besi jang sangat anti komunis ini. Karena doktrin terpenting orde bau mengidentikkan komunisme dengan tidak bertuhan dan beragama alias kafir, maka penerdjemahan Sulastin jang merudjuk Pantjasila ini menggiring seseorang pada pertanjaan berikut: Mungkinkah perumusan “Tuhan Jang Esa dan Jang Sama” itu bertudjuan untuk menetralisir keraguan Kartini terhadap agama? Kartini sepertinja sudah dikompromikan bukan sadja dengan perumusan Pantjasila Bung Karno tapi djuga dengan ideologi anti komunisme harto orde bau, padahal waktu Kartini menulis keduanja belum ada! Tidak lain perbuatan men-tjotjok2kan tulisan Kartini dengan tjorak politik jang muntjul di Indonesia djauh setelah Kartini berkorespondesi ini pantas disebut sebagai anakronisme.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Kartini menulis suratnja pada achir abad 19, persisnja pada tahun 1899. Djangankan negara komunis, partai komunis sadja pada waktu itu belum lahir di manapun djuga di dunia ini. Salah satu partai komunis paling tua lahir di Rusia pada tahun 1903 sebagai akibat perpetjahan dalam tubuh partai sosial demokrat dan partai komunis tertua itu memilih nama Bolsjewiki. Dengan begitu mengkaitkaitkan harapan Kartini supaja agama tidak ada dengan komunisme djelas terlalu di-tjari2 dan tidak pada tempatnja.
Salah satu kemungkinan jang lebih masuk akal adalah bahwa ketika menulis lagu Imagine, biduan John Lennon, jang waktu itu (1971) memulai karier solonja, (menandai berachirnja grup band the Beatles) sempat membatja surat ini. Bukankah himpunan surat2 ini sudah terbit dalam bahasa Inggris (oleh penerbit Duckworth, London) pada tahun 1921 dengan djudul Letters of a Javanese Princess? Salah satu larik lagu Imagine berbunji: “No religion too”! Tak pelak lagi: John Lennon, seperti Kartini sebelumnja, mengadjak pendengarnja untuk membajangkan keadaan tanpa agama.

Patut ditjatat keraguan terhadap agama, bahkan terhadap Tuhan, merupakan sesuatu jang alami, terdjadi pada banjak kalangan muda, apalagi seseorang jang berdjiwa dan berpikiran bebas seperti Kartini. Bukankah sebelum itu dia sempat dipingit dan karenanja begitu mendambakan kebebasan?
Setelah sedikit keluar djalur dengan menindjau hal2 jang mungkin dan jang tidak mungkin, baiklah kita kembali ke dua alinea surat Kartini jang sangat meragukan agama ini.
Untunglah kalimat terdjemahan Sulastin berikutnja tidak bermasalah. Tapi masalah kembali terlihat pada kalimat sesudah itu, ketika mendadak sontak Sulastin menggunakan kata “geredja”. Djelas terlihat dia telah setjara harafiah menerdjemahkan kata kerk jang memang berarti geredja. Tapi dalam penggalan kalimat “Verschil van kerk”, Kartini djelas tidak bermaksud menundjuk pada geredja setjara chusus. Di sini Kartini djuga tidak berbitjara tentang agama nasrani atau rumah ibadahnja. Dalam menulis kerk dia djelas ingin menundjuk pada rumah ibadah setjara umum. Itu djuga merupakan tjara orang (dan bahasa) Belanda pada abad 19 untuk menundjuk rumah ibadah. Dengan kata lain, terdjemahan Sulastin jang menjebut “kerk” sebagai “geredja” djelas keliru. Dia melakukannja terlalu harafiah, tanpa memperhatikan kontex zaman dan nuansa surat itu. Lebih tepat menerdjemahkan potongan kalimat itu sebagai “Perbedaan rumah ibadah” tanpa perlu menundjuk rumah ibadah agama tertentu.
Sepintas, penerdjemahan alinea kedua soal agama ini tidak bermasalah separah alinea pertama. Tapi, selain tidak ada kata atau kalimat jang dilewati dan tidak ada pula kata atau kalimat jang dibubuhkan (padahal kata tersebut tidak ada pada versi asli Kartini), bukanlah berarti di sini tidak ada masalah. Kalau ditindjau lebih landjut, segera terlihat bahwa Sulastin tidak sepenuhnja memahami pemikiran dan expresi Kartini. Bahkan dia telah melewatkan keluarbiasaan Kartini dalam berbahasa Belanda. Begini duduk masalahnja:
Pada kalimat terachir alinea ini Kartini bertanja hoeveel zonden juist worden niet onder Uw naam bedreven! Jang penting adalah kata Uw naam jang berarti namaMu, penggunaan huruf kapital ini djelas mengisjaratkan Tuhan. Bahasa Belanda menjebut agama sebagai godsdienst, God (selalu dengan huruf besar) berarti Tuhan dan dienst berarti melajani atau menjembah, bisa djuga berbakti. Dengan begitu setjara harafiah godsdienst (jang digabung kemudian masih ditambah huruf “s” tapi tidak lagi menggunakan huruf kapital) berarti melajani, menjembah atau berbakti kepada Tuhan. Di sinilah terlihat kemahiran Kartini berbahasa Belanda. Di satu pihak dia menjebut agama seharusnja membebaskan orang dari dosa (Godsdienst, die ons voor zonden bewaren moet), tetapi kemudian Kartini mengarahkan penggalan kalimat sesudah itu kepada Tuhan dengan menulis hoeveel zonden juist worden niet onder Uw naam bedreven jang artinja “harus berapa banjak dosa lagi jang dibuat atas namaMu”. Ini berarti bahwa pada penggalan kedua ini Kartini telah memisahkan God (Tuhan) dari dienst (menjembah). Dengan kata lain tatkala menjembah (atau berbakti kepada) Tuhan (menulis godsdienst) dia kemudian bertanja berapa banjak lagi dosa jang dibuat atas nama Tuhan? Betapa di sini djelas Kartini benar2 berhasil tampil sebagai seorang penutur asli! Virtuositas bahasa atau kemahiran berbahasa seperti inilah jang dikagumi oleh orang Belanda. Orang Belanda, seperti profesor Teeuw, begitu terpana membatja ketjerdasan dan ketadjaman Kartini dalam menggunakan bahasa jang sebenarnja bukan bahasa ibunja ini.
Masalahnja memang dalam bahasa Indonesia agama tidak mengandung kata Tuhan. Tapi sebagai penerdjemah seharusnja Sulastin tetap awas, djadi patut disajangkan ketika dia tidak melihat hal jang luar biasa ini. Paling sedikit dia seharusnja ber-tanja2 mengapa pada bagian kedua kalimatnja Kartini tiba2 menggunakan Uw dan itupun dalam huruf kapital. Dengan tidak memperdulikan hal jang sungguh istimewa ini, Sulastin djustru mengabaikan sama sekali kemahiran Kartini. Tidak muntjul kata Tuhan dalam terdjemahannja, begitu pula Sulastin djuga mengabaikan sadja makna huruf besar U, pada Uw. Ini djelas berarti bahwa Sulastin tidak paham tulisan Kartini, tidak paham kehebatan bahasa Belanda Kartini.
Sebenarnja Sulastin bisa terluput dari kesalahan parah ini kalau dia memperhatikan nuansa kalimat Kartini. Dan ini berarti dia akan tetap menerdjemahkan Uw jang ditulis dalam huruf kapital itu. Mudah2an sampai di sini djelas bahwa Sulastin memang sudah mengabaikan nuansa. Dia bahkan telah melakukan penafsiran terhadap tulisan Kartini dan tidak menerdjemahkan seperti apa adanja.

Terhadap tidak diterdjemahkannja kata “vooruitstrevende” seperti terlihat pada tjontoh pertama, profesor Teeuw menjebutnja sebagai “ketjerobohan ketjil”. Tapi pada tjontoh kedua jang dengan djelas menundjukkan bahwa Sulastin tidak menerdjemahkan satu kalimat, mendjadi sulit untuk tetap mempertahankan istilah almarhun gurubesar Leiden jang begitu murah hati ini. Ditambah kesalahan menerdjemahkan “kerk” serta pengabaian kemahiran berbahasa Kartini, tepatkah semua itu hanja disebut “ketjerobohan ketjil” belaka?
Apapun djulukannja, jang djelas hasil terdjemahan Sulastin telah membuat Kartini berwadjah lain. Kartini kehilangan greget, kehilangan gelora, kehilangan tekat jang begitu membara. Kartini mendjadi tidak langsung, bahkan ber-belit2 dan lebih berdjarak. Kartini djelas kehilangan djiwa bebasnja dalam terdjemahan Sulastin itu, bahkan kehilangan logika. Memang Sulastin menghindari kata2 modern, seperti korespondensi, pretensi atau bahkan kata “anda” jang belum lahir ketika Kartini menulis. Mungkin inilah sebabnja terdjemahan Sulastin terasa menggunakan bahasa jang sudah ketinggalan zaman. Tetapi dengan terdjemahan jang begitu djinak maka bahasa Kartini djelas sudah bukan lagi bahasa sastrawi, seperti aslinja.
Kartini sendiri tidak begitu gemar membatja terdjemahan. “Walaupun terdjemahan itu sudah begitu baik, tidak mungkin dia bisa seindah aslinja,” begitu tulisnja. Ketika njaris tidak ada lagi chalajak pembatja Indonesia jang mampu membatja bahasa Belanda, maka penerdjemahan kembali surat2 Kartini mendjadi pilihan jang mendesak, walaupun penulisnja sendiri tidak begitu suka terdjemahan. Penerdjemahan kembali akan berkesempatan pula untuk menjesuaikan bahasa Kartini dengan bahasa zaman sekarang.
Siapa berani menghadapi tantangan ini? Begitu pula adakah penerbit jang bernjali untuk menerbitkan kembali surat2 Kartini dalam wadjah aslinja jang djelas berbeda dari wadjah jang sedjauh ini diketahui umum?
Amsterdam, kampung de Jordaan, musim semi 2017
R e f e r e n s i
1. R. A. Kartini [1921], Letters of a Javanese Princess, (translated from the original Dutch by Agnes Louis Symmers), London: Duckworth & Co.
2. R. A. Kartini [1923], Door duisternis tot licht, gedachten over en voor het Javaansche volk, ‘s-Gravenhage: N.V. Eletr, Drukkerij “Luctor et Emergo” (tjetakan keempat).
3. Kartini [1985], Surat2 Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanja, penerdjemah Sulastin Sutrisno, Djakarta: Penerbit Djambatan. (tjetakan ketiga)
4. Kartini [1987], Brieven aan mevrouw R. M. Abendanon-Mandri en haar echtgenoot met andere documenten, bezorgd door F.G.P. Jaquet, Dordrecht: Floris Publication. ISBN 90 6765 225 3
5. Kartini [1989], Surat2 kepada R. M. Abendanon-Mandri dan suaminja, penerdjemah: Sulastin Sutrisno, Djakarta: Penerbit Djambatan. ISBN 979 428 127 1
6. Teeuw [1994], “Kartini dalam Bahasa Indonesia” dalam Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Djakarta: Pustaka Djaja ISBN 979-419-125-6 (halaman 103-141).
Artikel yang menarik. Semoga ada kesempatan menerjemahkan surat-surat Kartini dengan benar dan segera dicetak..
Salam.
Bambang eryudhawan