Versi jang lebih lunak dan tidak terlalu djudes bisa diklik di sini.
Keputusan pemerintah Belanda mendanai usulan penelitian terhadap apa jang mereka sebut periode dekolonisasi Indonesia berlatar belakang politik kentel. Ini sangat perlu kita perhatikan karena peneliti Indonesia djuga dilibatkan. Lebih dari itu djuga perlu dengen teges dirumusken apa kepentingan Indonesia ikut serta dalem ini penelitian. Tanpa perumusan kepentingan jang djelas dan teges maka bisa2 kita tjuman akan hanja ikut2an dalam politik dalam negeri si bekas pendjadjah.

Sembilan bulan setelah pemerintah Belanda memutuskan mendukungnja, pada tanggal 14 september silam, di Amsterdam, diadakan aftrap alias tendangan awal dalam bentuk pengenalan publik terhadap penelitan besar proses dekolonisasi Indonesia. Kemis malem itu, para peneliti dari tiga lembaga jang menggondol tugas penelitian, masing2 KITLV (Institut Keradjaan untuk Bahasa, Sedjarah dan Kebudajaan), NIOD (Institut Belanda untuk Dokumentasi Perang, Holocaust dan Genosida) dan NIMH (Institut Belanda untuk Sedjarah Militer) membeberkan rantjangan kerdja mereka. Penelitian ini akan dibagi dalam sembilan projek besar, tiga di antaranja melibatkan Indonesia.
Menurut Frank van Vree, direktur NIOD, peneliti Indonesia akan dilibatkan dalam meneliti periode Bersiap, kadjian regional di pelbagai wilajah Indonesia dan penelitian chusus terhadap kesaksian mereka jang mengalami sendiri pelbagai kekerasan selama, bagi kita, perang kemerdekaan itu.
Walaupun dalam bahasa Indonesia, bisa dipastikan tidak banjak di antara kita tahu apa jang disebut periode Bersiap. Di Belanda periode Bersiap dikenal sebagai masa penuh kekerasan (1945-1946) jang dialami oleh orang2 Belanda, kalangan Indo berdarah tjampuran, kalangan Tionghoa serta warga minoritas lain jang dianggap bersekutu dengan Belanda. Pelaku kekerasan, masih menurut anggapan chalajak Belanda, adalah orang2 Indonesia. Kemis malem, sedjarawan Rémy Limpach jang disertasi doktornja menjebabkan keputusan pemerintah ini, menegaskan bahwa periode Bersiap itu lebih rumit lagi. Menjebutnja sebagai perang saudara, Limpach jang keturunan Belanda-Suisse melihat bahwa selama perang kemerdekaan kita kekerasan djuga terdjadi di kalangan Indonesia sendiri, antara mereka jang anti dan jang mendukung Belanda. Belum lagi kekerasan jang dilakukan oleh pasukan2 Djepang dan Inggris — waktu itu Inggris masuk Indonesia sebagai pasukan sekutu.

Sebenarnja istilah “het Indonesisch geweld” atau kekerasan jang dilakukan orang Indonesia sudah terlebih dahulu diungkap oleh perdana menteri Mark Rutte, ketika, pada djumpa pers mingguan djum’at 2 desember 2016, mengumumkan keputusan pemerintah untuk mendukung usul penelitian ini. Menurut Rutte penelitian ini tidak hanja mengarah pada ulah kalangan militer, tetapi djuga peran kalangan politik, pemerintahan dan kehakiman. Dia berlandjut, “Djuga kekerasan Indonesia dalam apa jang disebut periode Bersiap, termasuk keputusan di Den Haag dan kedjadian setelah 1949.” Pada saat itu Belanda menjerahkan kedaulatan kepada Indonesia.
Harian NRC Handelsblad edisi sabtu 3 desember 2016 mengungkap bahwa penelitian terhadap kekerasan pihak Indonesia merupakan sjarat salah satu mitra koalisi pemerintah sebelum menjetudjuinja. Partai buruh PvdA jang beraliran kiri bisa sadja begitu getol menghendaki penelitian terhadap apa jang mereka sebut sedjarah kelam Belanda ini (untuk memoles tjitra Belanda sebagai tuan rumah beberapa lembaga arbritasi internasional), tetapi tanpa dukungan mitra koalisi partai konservatif VVD, penelitian ini tidak akan djalan. Selalu membela kepentingan kalangan veteran jang terdesak karena pengungkapan kekerasan militer pihak Belanda, sudah pasti VVD bersikukuh supaja periode Bersiap djuga diteliti.
Bisa dikatakan partai politik VVD adalah benteng perlindungan terachir kalangan veteran Belanda jang sekarang sudah sangat berkurang djumlah mereka, ditelan zaman atau tak bisa apa2 lagi dimakan usia. Sebelum itu, mereka begitu aktif, berdemonstrasi turun ke djalan pun mereka djalani. Lobi mereka djuga kuat sekali, baik melalui organisasi maupun perorangan atau tokoh berpengaruh.
Organisasi veteran (beserta beberapa tokoh mereka) misalnja berhasil menekan sedjarawan Loe de Jong, direktur RIOD (pendahulu NIOD) supaja tidak menggunakan kata “oorlogsmisdrijf” (kedjahatan perang) dalam bagian achir (djilid 12) buku Belanda semasa Perang Dunia II. Tokoh terpenting jang tak henti2nja memperdjuangkan para veteran adalah pangeran Bernhard, kakek radja Willem-Alexander dan ajah putri Beatrix (sebelum mundur sebagai ratu Belanda). Di-sebut2 pangeran Bernhard mendesak putrinja, ratu Beatrix, supaja tidak mengadakan kundjungan kenegaraan ke Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1995. Kalau berlangsung tepat pada peringatan 50 tahun proklamasi kemerdekaan, maka kundjungan itu bisa diartiken sebagai pengakuan Belanda pada proklamasi kemerdekaan kita. Itu artinja sia2lah tugas para veteran jang dikirim ke Indonesia selama perang kemerdekaan 1945-1949. Dan memang kundjungan kenegaraan itu achirnya berlangsung pada tanggal 21 Agustus 1995.
Tentu sadja rombongan para veteran ikut serta dalam rombongan ratu Beatrix. Keikutsertaan mereka membuat para wartawan Djerman jang bertugas di Belanda terbelalak keheranan. Mungkinkah para pensiunan pasukan SS jang semasa Perang Dunia II menduduki Belanda, 50 tahun kemudian ikut serta dalam rombongan presiden Djerman melakukan kundjungan kenegaraan ke Belanda? Djelas tidak mungkin! Tapi berkat kuwatnja lobi, mereka jang kalah dalam upaja kembali menduduki Indonesia ini bisa ikut2an melakukan kundjungan kenegaraan. Lobi itu tidak lain didalangi oleh pangeran Bernhard, ajahanda ratu Beatrix.
Pangeran Bernhard tutup usia pada 2004, begitu pula banjak veteran Belanda jang meninggal atau berumur landjut. Tinggallah VVD, sebagai satu2nja pihak jang terus membela kepentingan para veteran.

Maka djelaslah urut2an keterkaitannja. Partai konservatif VVD menghendaki supaja periode Bersiap diteliti dan itulah jang ditegeskan oleh perdana menteri Rutte ketika mengumumkan keputusan kabinetnja untuk memesan penelitian ini. Bahkan Rutte jang pemimpin VVD ini masih membubuhkan istilah “Indonesisch geweld” alias kekerasan Indonesia itu. Dan ketika mengungkap rantjangan kerdja mereka, ketiga institut jaitu KITLV, NIOD dan NIMH, dengan teges djuga mentjantumkan Bersiap sebagai salah satu di antara tiga projek penelitian jang akan dilakukan di Indonesia. Maklum itulah kehendak pemesan, itulah pesen sponsornja.
Bisa sadja ketiga lembaga penelitian itu jang terlebih dahulu usul supaja periode Bersiap djuga diteliti. Usul itu mereka adjukan —tidak bisa tidak— karena tahu persis bahwa partai VVD jang mendukung kalangan veteran ingin supaja kekerasan ini djuga diteliti, sehingga akan terlihat bahwa pihak Indonesia djuga bertanggung djawab terhadap pertumpahan darah. Dengan begitu bukan hanja veteran Belanda jang selama ini sudah ditimpai kesalahan dan harus sendirian menanggung rasa bersalah dan malu. Kabinet Belanda terdahulu sudah menolak usul mengadakan penelitian ini, bisa djadi karena waktu itu periode Bersiap tidak tertera setjara explisit. Supaja bisa diterima maka periode Bersiap harus dibikin teges bahkan djuga dengan mengadakan penelitian di Indonesia dan melibatkan peneliti kita. Ketika mengumumkan menerima usul itu, perdana menteri Mark Rutte djuga menjebutnja setjara explisit. Djadi istilah “Indonesisch geweld” alias kekerasan pihak Indonesia itu dilontarkan oleh perdana menteri Rutte untuk menghindari keberatan organisasi veteran Belanda, bahwa hanja mereka jang terus2an djadi sasaran kritik pelaku kekerasan. Kira2 begitulah tawar menawar politik jang terdjadi, apa jang dalam bahasa Belanda disebut sebagai koehandel alias dagang sapi.
Ketiga lembaga jang akan melakukan penelitian sekarang menerima gelontoran dana sebesar 4,1 djuta euro dan mereka akan bekerdja selama empat tahun. Djelas ini dana Belanda. Kemauan, seperti telah diuraikan di atas, djuga merupakan kemauan Belanda dan itu adalah hasil kompromi dalam kabinet koalisi. Setelah kemauan politik dan dana Belanda ini, kita sekarang pantas bertanja: kalau begitu apa peran Indonesia? Belanda memang ingin melakukan penelitian di Indonesia bahkan melibatkan para peneliti kita.
Ireen Hoogeboom, koordinator penelitian di Indonesia menjebut dua nama sedjarawan Indonesia jang akan terlibat dalam penelitian besar ini: Prof. Dr. Bambang Purwanto dan Dr. Abdul Wahid, dua sedjarawan Universitas Gadjah Mada, Djogjakarta. Kemis malem itu, Hoogeboom djuga membantah kabar burung di media sosial bahwa keterlibatan peneliti Indonesia ini bersifat kolonial. “Masalah ini tidak kami dapati dalam berhubungan dengan peneliti Indonesia,” tegesnja. Patut dipertanjakan seberapa djauh peneliti Indonesia mengetahui koehandel jang merupakan latar belakang politik sampai keputusan penelitian ini keluar.
Bagaimanapun djuga jang melakukan penelitian adalah lembaga2 Belanda, demi kepentingan masjarakat Belanda dan merupakan pesanan pemerintah Belanda. Dananja djuga sepenuhnja berasal dari Belanda. Apa sebenarnja kepentingan Indonesia dalam hal ini? Lima tahun silam, pada 2012, pertanjaan ini pertama kali dilontarkan oleh Lizzy van Leeuwen, seorang peneliti dan pakar antropologi Belanda jang dari awal sudah begitu kritis terhadap rentjana penelitian ini. Sudah pulakah para peneliti Indonesia memperhitungkan kenjataan perang bahwa sebenarnja pihak2 jang terlibat djuga saling melakukan kekedjian, sehingga penelitian mengenai kekerasan perang ini sebenarnja mubazir belaka? Pada kemis malem itu djawabannja tidaklah djelas, terutama karena dua sedjarawan Indonesia jang disebut namanja tidak hadir untuk memberi pendjelasan. Sebelum masalah kepentingan ini djelas, keterlibatan peneliti Indonesia sangat patut dipertanjakan.
Sampai achir tahun lalu, ketika keputusan melakukan penelitian ini turun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa kekerasan jang terdjadi di Indonesia bersifat ekses belaka. Itu tertuang dalam nota ekses (Excessennota) karja mendiang sedjarawan Cees Fasseur jang terbit tahun 1969. Dari pendjelasan perdana menteri Mark Rutte awal desember 2016 itu, paling sedikit bisa didengar dua sebab jang mendorong pemerintah Belanda berubah pendirian dan mendukung usul mengadakan penelitian besar ini.

Pertama penelitian sedjarawan Rémy Limpach jang berhasil mengungkap bahwa kekerasan selama perang kemerdekaan Indonesia itu bersifat struktural, menjebar dan tertantjap dalam stuktur militer Belanda di Indonesia waktu itu. Djelas bukan ekses seperti jang sampai sekarang tetap dianut pemerintah. Dalam bukunja jang berdjudul De brandende kampong van generaal Spoor (Kampung2 djenderal Spoor jang terbakar) Limpach lebih landjut menelandjangi koalisi para pelaku kekerasan di dalam struktur militer dan sipil jang dalam semua djadjaran bertanggung djawab melakukannja. Tiga wakil tertinggi kekuasaan di Hindia Belanda ber-sama2 bertanggung djawab terhadap kekerasan ekstrim itu. Mereka adalah panglima tentara djenderal Simon Spoor, amtenar sipil tertinggi Huib van Mook dan amtenar puntjak kehakiman Henk Gelderhof. Rémy Limpach menjebut ketiganja telah melakukan “djudi militer, dengan taruhan njawa puluhan ribu orang Indonesia dan Belanda”.
Sebab kedua adalah pelbagai gugatan pengadilan jang pertama kali dulu, september 2011, dimenangkan oleh para djanda Rawagede. Menjusul mereka, sekarang ahli waris korban Sulawesi Selatan djuga menggugat negara Belanda di pengadilan, kembali mereka djuga menang. Ada dua tokoh jang berdiri di balik kemenangan mereka, pengatjara Liesbeth Zegveld dan aktivis Jeffry Pondaag, pengurus Komite Utang Kehormatan Belanda. Seperti dua peneliti Indonesia di atas, Zegveld maupun Pondaag tidak hadir pada pemaparan kemis malem 14 september itu. Padahal kemenangan mereka di pengadilan telah menjebabkan pemerintah memutuskan penelitian ini.
Ketidakhadiran mereka merupakan kritik terhadap penjelenggara. Pertemuan malem itu memang berlangsung penuh kontroversi. Ada aktivis jang mendesak supaja bukan hanja agresi militer terhadap Indonesia jang diteliti, tapi djuga pelbagai perang kolonial Belanda lain di Nusantara, seperti perang Atjeh. Ada pula wakil para veteran jang dari dulu selalu menolak istilah oorlogsmisdaden atau kedjahatan perang. Kebanjakan pembitjara mendukung penelitian ini. Hanja Marjolein van Pagee, fotograf Belanda pengelola situs web Histori Bersama, jang mentjoba bersikap kritis dengan berpendapat bahwa penelitian ini sama sekali bukan penelitian netral. Ia djuga mempertanjakan kemandirian para peneliti tatkala lembaga induk mereka merupakan lembaga pemerintah. Kemudian masih ada pula kolumnis John Jansen van Galen jang tampil djenaka dengan pertanjaan menggelitik: mengapa ketiga institut itu sampai perlu minta anggaran chusus? Bukankah dengan anggaran reguler jang djuga berasal dari pemerintah seharusnja sudah bisa mengadakan penelitian ini? Soal anggaran ini sebelumnja djuga sudah disampaikan oleh Lizzy van Leeuwen, maka kembali terlibat betapa penjelanggara aftrap gagal dalam mendatangkan kalangan jang kritis terhadap projek penelitian besar ini.
Pada kemis malem 14 september itu djelas bahwa penelitian menjeluruh tehadap proses dekolonisasi Hindia Belanda se-mata2 merupakan masalah Belanda. Bagi kita di Indonesia jang penting adalah mendjawab dahulu apa kepentingan kita melibatkan diri dalam penelitian ini. Tanpa djawaban teges maka keterlibatan peneliti Indonesia (jang akan dibajar oleh pemerintah Belanda) akan kehilangan makna. Bisa2 peneliti Indonesia itu hanja melajani kehendak partai konservatif VVD jang memang menuntut adanja penelitian terhadap kekerasan pihak Indonesia.
Enak saja pemerintah PUSAT di negeri Belanda mau menyalahkan para bawahannya yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Padahal mereka yang harus mempertahankan Hindia Belanda dari serangan Jepang. Malah mengatakan: WEES NIET BANG. KOM MAAR OP! DE JAP MET HUN SPLEETOGEN KUNNEN NIET EENS RECHTSCHIETEN. WIJ ZIJN GEREED OM HUN EEN WARME ONTVANGST TE BEZORGEN MET 70.000 ROEMRTIJKE KNIL SOLDATEN MET VOC KLEWANGS EN 1885 HUMBURG KARABIJEN. Setelah Perang Dunia II Belanda kembali ke Indonesia dengan menagatakan: NEDERLANDS INDIË IS EEN KLEIN LAND MET EEN DOMVOLK. WIJ HEBBEN HUN AL 350 ONDER DE KNIE. EN ZULLEN DAAR NOG DE VOLGENDE 100 JAAR BLIJVEN (GG B.C. de Jonge). Bung Karno waktu ditahan di Bengkulu mengadakan rekes kepada Asisten Residen Bengkulu untuk dikirim melalui Gubernur Jendral Hindia Belanda ke Ratu Belanda. Untuk minta ikut dievakuasi ke Australia waktu Jepang hendak menyerang Hindia Belanda.Permintaan itu ditolak.(Surat itu sekarang ada di RIJKSARCHIEF di Belanda menurut sejarawan GIEBELS). Andaikata diterima TIDAK ADA/TERJADI PROKLAMASI. Jendral Spoor bunuh diri karena dengan susah payah sudah menyerang dan mengalahkan REP JOGYA (85%-ex Hindia Belanda sudah dikuasai Belanda kembali), Karena pasukannya sekonyong-konyong harus mengundurkan diri atas perintah pemerintah Pusat Belanda. Padahal RI sudah NON EXISTENT karena presiden Sukarno dan pemerintahaannya telah ditawan dan Republik Indonesia DARURAT di Bukittinggi hanya pernyataan sepihak saja yang tidak diakui dunia.