Dalam rangka Soempah Pemoeda, situs Terakota.id mewawantjaraiku. Semula mereka kira dan begitu djuga aku kira, wawantjara itu pendek sadja. Tapi berhubung aku sedang mikir2 tentang bahasa Indonesia, dan punja gagasan jang lebih chusus lagi tentang nasionalisme bahasa, maka djawabanku tidak pendek, bahkan super pandjang. Ada beberapa sjarat jang aku adjuken kepada pengelola situs, sebelum mendjawab pertanjaan mereka. Misalnja harap djawabanku tidak dipotong, tapi dimuat setjara berseri. Kemudian edjaan Suwandi jang aku gunaken harap tidak diganti dengan edjaan Van Ophuysen atau edjaan jang sekarang berlaku, apapun nama itu edjaan. Baru setelah mereka setudju pada sjarat2 jang kukemukakan, djawaban mulai kutulis. Pandjangnja mentjapai 15 halaman, dan ketika keluar di situs asal kota Malang (kebetulan djuga kota kelahiranku) memang djawabanku itu telah didjadikan empat seri. Nah, berikut ini aku himpun keempatnja, supaja bisa dibatja dengen lantjar. Terus terang, versi ini djuga berbeda dari empat edisi jang terbit di Terakota. Selain rumusannja jang dipertadjem, djuga telah ditambah beberapa butir lain jang diharapken bisa memperdjelas pemikiranku mengenai bahasa ini.
Tema A; Bahasa Indonesia dan Perlawanan Terhadap Kolonial
- Seperti yang kita tahu, dalam Sumpah Pemuda, bahasa dimasukkan dalam salah satu poin pemersatu kebangsaan. Mengapa bahasa dimasukkan dalam sumpah pemuda? Apakah ia punya kekuatan untuk mengimbangi dominasi penjajah?
Djawab: Saja lihat itu sebagai manifestasi semangat persatuan, bahasa merupakan pendorong persatuan, selain bangsa dan tanah air Indonesia. Ketiganja masih dalam kondisi jang belum pasti dan menentu. Waktu itu masih belum pasti bahwa Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Siapa misalnja wakil orang Papua? Sebagai bangsa djuga begitu; para pemuda masih lebih tergabung dalam kelompok masing2, seperti Jong-Java, Jong-Sumatra, Jong-Ambon, Jong-Minahasa atau Jong-Batak, kata Belanda jong berarti pemuda. Tentu sadja dalam kelompok asal itu mereka berbitjara dalam bahasa daerah masing2 dan tidak begitu dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia sendiri jang waktu itu disebut bahasa Melajoe atau het Maleisch dalam bahasa Belanda, masih belum seperti sekarang. Kosakatanja belum begitu lengkap, kata mahasiswa misalnja masih belum ada. Waktu itu orang masih menggunakan kata Belanda student (atau studenten djamaknja) jang beda lafalnja dengan kata serupa dalam bahasa Inggris. Djadi pengikutan unsur bahasa dalam Soempah Pemoeda, bertudjuan tidak lain untuk mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan begitu bahasa ini mendjadi bahasa jang siap pakai, digunakan oleh segenap warganja.
Para pemuda waktu itu adalah kalangan terpeladjar jang kebanjakan menempuh pendidikan (tinggi) dalam bahasa Belanda. Karena itu mereka djuga terbiasa menjatakan gagasan dalam bahasa pendjadjah. Bahkan bisa dikatakan bagi kalangan tjedekiawan jang mentjetuskan Soempah Pemoeda ini bahasa Belanda sudah merupakan bahasa ibu kedua. Bahasa pendjadjah ini mereka gunakan se-hari2, tidak hanja untuk ber-tjakap2, tapi terutama djuga untuk berpikir dan menulis topik2 tentang masalah intelektual, budaja bahkan politik.
Di sini perlu saja tegasken bahwa gagasan Soempah Pemoeda sendiri bukanlah sesuatu jang asli Indonesia. Bahasa sebagai unsur bangsa itu sebelumnja sudah lama berkembang di Eropa, sedjak abad 19, dan merupakan pemikiran tokoh2 Djerman zaman romantik (paruh kedua abad 19), seperti Fichte dan Humboldt. Melalui pendidikan Barat jang ditempuh para pemuda kita dan berlangsung dalam bahasa Belanda itu pemikiran2 seperti ini dipahami oleh para pemuda kita. Itulah sebabnja mereka memilih bahasa Melajoe sebagai bahasa persatuan Indonesia, padahal mereka sendiri tidak begitu menggunakan bahasa ini.
Sang proklamator dan presiden pertama Bung Karno sadja mengakui bahwa dia berpikir dalam bahasa Belanda, bahkan ber-sungut2 atau memaki dalam bahasa itu. Begitu pula kalau berdoa, Tuhan disapanja dalam bahasa Belanda, tidak ketinggalan dia bermimpi djuga dalam bahasa Belanda. Dalam sidang kabinet tidak djarang bahasa pendjadjah ini digunakan.
2. Ketika sumpah pemuda dikumandangkan, yang disebut secara pasti sebagai “Bahasa Indonesia” itu bahasa seperti apa sebenarnya? Betulkah ia telah mewakili dan hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia waktu itu? Atau ia klaim dan dorongan dari segelintir elit priyayi waktu itu?
Seperti sudah saja katakan di atas, bahasa Indonesia pada waktu itu masih dalam bentuk rudimenter, bentuk awal jang praktis tidak bisa dipakai untuk mengungkapkan hal2 jang abstrak, rumit, dan tjanggih. Seperti tjontoh di atas kata mahasiswa misalnja belum ada, orang masih menggunakan kata Belanda student. Pemungutan suara dalam rapat atau sidang untuk mentjapai keputusan misalnja, djuga belum ada. Orang waktu itu menggunakan seteman, berasal dari bahasa Belanda stemmen. Kalau sekarang kita menulis sebagai “kewadjiban kami” maka pada waktu itu orang menulisnja “kami poenja koewadjiban”. Awalan “me” misalnja juga belum begitu digunakan, kalau sekarang kita menulis “untuk melaksanakannja”, maka pada waktu itu orang menulis “oentoek laksananja”. “Pendapat kami” misalnja djuga masih ditulis sebagai “kami poenja pendapatan”, padahal sekarang pendapatan adalah penghasilan. Dalam keadaan ini tidaklah mengherankan kalau para pemuda terpeladjar waktu itu tidak begitu suka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa ini dianggep kurang komplex untuk mengungkapken gagasan2 abstrak.

Bahasa ini lebih banjak digunakan oleh kalangan pedagang atau pengusaha atau pengemudi sado, atau kondektur kereta api, pendek kata mereka jang tidak begitu terpeladjar apalagi terdidik. Sebaliknja djelas bahwa penguasaan bahasa Belanda djuga merupakan tanda bahwa seseorang itu terdidik. Maka hasrat untuk beladjar bahasa Belanda pada awal 1920an itu semakin meningkat sadja. Tetapi masalahnja dari sedjak awal pemerintah kolonial tidak pernah berminat menjebarkan bahasanja. Pendjadjah berdalih Hindia Belanda sudah punja lingua franca alias bahasa pengantar jaitu bahasa Melajoe. Ini djelas berbeda dengan pendjadjahan Prantjis di Maghreb misalnja (Tunisia, Aldjazair, dan Maroko). Walaupun Maghreb sudah punja bahasa pengantar jaitu bahasa Arab, tetapi melalui apa jang disebut Mission civilisatrice alias missi pemberadaban, Paris tetap mewadjibkan wilajah djadjahannja itu untuk berbahasa Prantjis. Dan itu sudah mulai dilakukan pada tahun 1880an dengan disediakannja anggaran chusus.
Belanda djelas tidak mengadakan anggaran chusus untuk menjebarkan bahasanja. Di balik dalih “Hindia sudah punja bahasa pengantar” itu patut dibedakan dua alasan jang sebenarnja mengapa pendjadjah Belanda tidak pernah berniat menjebarkan bahasanja. Pertama alasan ekonomi: dari sedjak zaman VOC pada abad 17 dan 18, Belanda memperlakukan Hindia sebagai sumber pendapatan. Sebagai kongsi dagang, VOC harus selalu menekan ongkos/biaja, oleh karena itu tidak pernah ada niat bagi perusahaan ini untuk menjebarkan bahasa Belanda, maklum itu hanja akan meningkatkan ongkos atau biaja. Menjusul kebangkrutan VOC pada abad 19, ketika mengambil alih Hindia, pemerintah Belanda di Den Haag sama sekali tidak berminat untuk mengubah politik ini. Hindia harus selalu menguntungkan!
Kedua alasan politik: alasan ini muntjul pada 1920an, ketika sudah lahir lapisan terpeladjar jang fasih berbahasa Belanda, hasil apa jang disebut Ethische Politiek (politik etis) jang mulai dilantjarkan pada abad 20. Melihat bahwa kalangan terpeladjar ini djuga nasionalistis, bahkan dalam katjamata Batavia mereka itu radikal, penguasa kolonial mendjadi enggan untuk menjebarluaskan bahasanja. Mengapa? Karena dengan fasih berbahasa Belanda, maka kalangan nasionalis itu tidak hanja akan mampu membatja buku2 atau batjaan2 anti kolonialisme, mereka djuga akan bisa berhubungan dengan kalangan anti imperialis, anti kolonialis, sosialis dan bahkan komunis, pendek kata menggampangkan djalan menudju masjarakat jang merdeka dari pendjadjahan. Karena itulah pengadjaran bahasa Belanda jang sudah tidak banjak itu kembali mengalami hambatan.
Dalam upaja memfasihkan diri dalam berbahasa Belanda ini achirnja kalangan pribumi di luar gubermen sampai nekat membuka pengadjaran bahasa Belanda sendiri. Inilah jang terdjadi pada tahun 1930an ketika Hindia Belanda diributkan dengan apa jang disebut Wilde scholen ordonnantie alias ordonansi sekolah liar. Sekolah2 jang memberi peladjaran bahasa Belanda di luar penguasa kolonial itu disebut sebagai sekolah liar. Dengan ditjabutnja peraturan ini, akibat besarnja tekanan massa, maka terbukti bahwa penguasa kolonial tidak bisa membendung hasrat chalajak ramai untuk beladjar bahasa Belanda.

Per-tama2 djangan mem-besar2kan makna Soempah Pemoeda, bahwa se-olah2 pada tanggal 29 oktober 1928, sehari sesudahnja, bahasa Belanda tidak lagi digunakan dan bahasa Indonesia mendadak sontak digunakan di mana2. Sekali lagi bukan seperti itu jang terdjadi. Semuanja terdjadi setjara bertahap dan per-lahan2, karena generasi terdidik pertama jang fasih berbahasa Belanda masih hidup. Bahkan Bung Karno sadja mengaku dia terus berpikir dalam bahasa Belanda (djuga bermimpi dalam bahasa pendjadjah itu). Pada tahun 1940 misalnja, djadi 12 tahun sesudah Soempah Pemoeda, Soewarsih Djojopoespito menerbitkan novelnja jang berbahasa Belanda berdjudul “Buiten het gareel” alias “Di luar kendali”. Padahal sudah ada Soempah Pemoeda, kenapa Soewarsih masih menulis novel dalam bahasa pendjadjah? Salah satu alesannja adalah bahwa Balai Poestaka menolak naskah asli novel itu jang ditulis dalam bahasa Sunda. Walaupun berbahasa pendjadjah, novel ini berkisah tentang mendidik murid2 jang nasionalis anti pendjadjahan. Inilah jang tidak dimaui oleh Balai Poestaka, makanja aneh kalau dalam peladjaran sastra, Balai Poestaka masuk dalam periodisasi, sementara karja2 dari zaman sebelum itu tidak memperoleh pengakuan. Bagaimana mungkin dalam periodisasi sastrsa Indonesia ada jang dinamaken angkatan Balai Poestaka, padahal ini adalah penerbit kolonial jang sangat anti Indonesia merdeka? Jang djelas tidaklah berarti bahwa bahasa Indonesia langsung digunakan setjara meluas, karena memang bahasa ini belum siap, masih harus diolah, perlu disempurnakan dahulu sehingga siap digunakan karena sudah sesuai dengan zaman.
Tapi bisa dipastikan bahwa tidak digunakannja bahasa Belanda sebagai bahasa kedua di Indonesia merupakan kesalahan Belanda sendiri. Dan tokoh jang per-tama2 mengkritik politik bahasa ini adalah Georges Henri Bousquet, seorang gurubesar Prantjis di Aldjiers, ibukota Aldjazair. Kritik ini keluar pada 1939 dalam buku Bousquet jang berdjudul La politique musulmane et colonial des Pays Bas (Politik Islam dan kolonial Belanda). Bahasa Belanda tidak pernah didjadikan alat kemadjuan atau piranti peradaban penting bagi bumiputra Hindia Belanda, begitu tulisnja. Di sini Bousquest menundjuk pada perbedaan penting dengan politik pendjadjahan Prantjis jang sudah sedjak abad 19 bertudjuan menjebarkan budaja dan dengan begitu djuga bahasa Prantjis. Dengan begitu menurut Bousquest adalah se-mata2 kesalahan Belanda djika rakjat Hindia tidak berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia jang dipilih sebagai bahasa persatuan itu oleh Bousquet disebut sebagai “une arme psychologique terrible” (senjata psikologis jang dahsjat) untuk memerangi bahasa Belanda. Dia meramalkan bahwa dalam 50 tahun ke depan bahasa Belanda tidak akan punja peran apapun di Indonesia. Betapa benar belaka ramalan itu! Terus terang saja melihat lenjapnja bahasa Belanda dari bumi Nusantara ini lebih karena kesalahan politik pendjadjah ketimbang lantaran hebatnja Soempah Pemoeda.

Hindia adalah satu2nja koloni di dunia jang tidak menggunakan bahasa pendjadjah, dan ini bukan se-mata2 karena pada tanggal 28 oktober 1928 kalangan muda kita jang progresif menjerukan Soempah Pemoeda, tapi karena politik bahasa pendjadjah jang dari awal (dari zaman VOC di abad 17) memang tidak ingin menjebarkan bahasanja. Tjoba lihat koloni lain di Asia Tenggara: semuanja berbahasa (bekas) pendjadjah. Timor Leste berbahasa Portugis, Singapura Malaysia berbahasa Inggris sebagai bahasa kedua (setelah Mandarin untuk Singapura dan Melayu untuk Malaysia), begitu pula Filipina (karena Spanjol melepasnja pada achir abad 19 dan diganti oleh Amerika). Kamboja, Vietnam dan Laos termasuk dalam wilajah Francophone jang berbahasa kedua bahasa Prantjis. Kita? Orang Belanda maximal harus puas dengan kata2 Belanda jang terserap dalam bahasa kita, seperti handuk, asbak, kantor atau benda tidak bergerak. Jang terachir itupun sekarang sudah digeser oleh properti, serapan dari bahasa Inggris. Begitu pula persekot jang sekarang sudah dilupakan orang karena mereka lebih memilih dp, apapun artinja singkatan itu.
Tjoba bajangkan djika sekarang bahasa Belanda djuga digunakan di Indonesia, maka pengguna bahasa ini akan bertambah dengan 250 djuta orang, dan bukan tjuman 24 djuta seperti sekarang. Bahasa Belanda bisa membanggakan diri sebagai bahasa internasional dan kita djuga akan punja bahasa penghubung dengan dunia internasional. Seperti djuga Maghreb jang dengan bahasa Prantjis bisa langsung berhubungan dengan dunia internasional.
Di lain pihak, walaupun tidak membuat bahasanja mendjadi bahasa pengantar kedua di Hindia, tidaklah berarti Belanda tidak berbuat apa2 terhadap bahasa Melajoe. Tadi sudah saja singgung sedikit soal Balai Poestaka. Dengan tugas antara lain mengawasi penggunaan bahasa Melajoe, inilah lembaga kolonial jang mengendalikan bahasa Indonesia. Selain itu, seperti di atas sudah saja bilang, menghalangi buku2 jang ingin menjebarkan nasionalisme. Masih ada satu lagi politik bahasa jang didjalankan pendjadjah, itulah edjaan Van Ophuysen jang mulai dipergunakan pada tahun 1901. Edjaan Van Ophuysen (edjaan oe) adalah salah satu tjara Belanda mengendalikan bahasa dan oleh karena itu djuga mengendalikan pikiran pengguna bahasa ini.
Dalam buku Saling Silang Indonesia Eropa, saja djelaskan salah satu tjontoh pengaruh edjaan kolonial ini. Itulah kata “tuan” jang bergeser artinja mendjadi pendamping “njonja”. Padahal dalam bahasa Melajoe asli tuan itu berarti anda, dengan sedikit unsur pudjaan. Ingat sjair lagu2 Ismail Marzuki jang berbunji “Djoewita malam siapakah gerangan toean” atau “Dosakah hamba mimpi berkasih dengan toean“. Djelas di sini toean bukanlah pendamping njonja. Bahkan toean di sini bukan seseorang jang berdjenis kelamin pria. Nah, pergantian makna serta perubahan djenis kelamin toean itu merupakan ulah Van Ophuysen.
- Lantas, apa respons Belanda terhadap kelahiran Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional waktu itu?
Belanda tentu sadja marah, salah satu langkah mereka adalah makin mengurangi pengadjaran bahasa Belanda. Mereka pertjaja nasionalisme Indonesia itu muntjul karena para pemuda kita mampu membatjai buku2 berbahasa Belanda. Djadi pengadjaran bahasa Belandalah jang harus dikurangi. Tidak tahunja itu malah menjebabkan bahasa Belanda semakin tidak mengakar di Indonesia.
Tapi tidaklah tepat untuk membajangkan bahwa sesudah Soempah Pemoeda itu petjah apa jang disebut “perang bahasa” jaitu kalangan pribumi sepenuhnja menolak berbahasa Belanda, kemudian ber-hadap2an dengan Belanda jang mempertahankan bahasanja. Bukan seperti itu jang terdjadi. Kenapa? Karena para pemuda itu masih melihat penguasaan atau kefasihan berbahasa Belanda sangatlah bermanfaat. Pelbagai buku atau batjaan kiri jang anti pendjadjahan, anti imperialisme, anti kemapanan ada dalam bahasa Belanda dan hampir tidak ada jang ditulis dalam bahasa Melajoe. Bahkan gagasan mendirikan negara merdeka sendiri mereka peroleh dari batjaan2 berbahasa pendjadjah, atau bahasa Djerman atau bahasa Prantjis (bahasa Inggris belum begitu terkenal); pendeknja bahasa asing. Maka dari itu mereka merasa dituntut harus tetap menguasai serta menggunakan bahasa Belanda, bahasa pendjadjah itu.
Di lain pihak, bahasa Melajoe sendiri belum begitu siap untuk digunakan mendjabarkan komplex dan abstraknja pemikiran tentang nasionalisme, kebangsaan, atau kebudajaan. Selain masalah kosakata jang kebanjakan hanja tjotjok untuk pertjakapan sederhana, di atas tadi sudah saja tundjukkan soal awalan, achiran dan imbuhan lain djuga masih belum begitu mantap. Karena bahasa merupakan kebutuhan hidup se-hari2 (orang tidak bisa tidak harus bertutur kata menggunakan bahasa) maka tidaklah mungkin untuk dalam sekedjap beralih bahasa. Bahasa Melajoe harus dikembangkan dulu, dan dalam proses pengembangan itu mereka jang fasih berbahasa Belanda akan terus menggunakan bahasa pendjadjah ini.
Satu2nja konflik bahasa terdjadi dalam tubuh de Volksraad, DPR pada zaman kolonial jang anggotanja tidak dipilih melainkan diangkat. Itupun tidak bisa dikatakan konflik dengan dua pihak jang ber-hadap2an karena kepentingan jang berlawanan. Djalan keluar jang ditempuh oleh penguasa kolonialpun djuga tidak memilih satu bahasa, melainkan ke-dua2nja boleh dipergunakan dalam sidang2 de Volksraad.
Pada bulan djuli 1938 (hampir 10 tahun sesudah Soempah Pemoeda), atas nama anggota fraksi nasional di dalam Volksraad, M.H. Thamrin menjatakan mulai hari itu dalam pelbagai sidang fraksinja hanja akan berbahasa Melajoe. Ini sesuai dengan hak jang pada 1918 (tahun Volksraad dibuka) telah diakui, bahwa anggota bumiputra berhak berbahasa Melajoe dalam mengikuti sidang. Karuan sadja timbul ribut2, baik di dalam maupun di luar Volksraad. Ketua Volksraad dan gubernur djendral A. W. L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer merasa chawatir akan terdjadinja propaganda politik. Dengan langsung berbitjara dalam bahasa Melajoe maka pers bumiputra djuga akan bisa langsung mengutipnja, sebelum utjapan2 mereka, seperti biasanja, terlebih dahulu dikenai sensor penguasa kolonial. Selain itu para penentang penggunaan bahasa Melajoe dalam sidang2 resmi Volksraad djuga menundjuk pada alasan2 praktis, seperti sebagian orang Eropa tidak akan bisa ikut berdebat karena tidak menguasai bahasa Melajoe, ketua Volksraad jang tidak berbahasa Melajoe djuga akan kesulitan mendjaga tata tertib sidang, penerdjemahan akan butuh waktu dan karena itu djuga memperlama sidang, djuga disebut bahwa penerdjemahan akan butuh biaja.
Menariknja pemerintah kolonial memutuskan tidak berbuat apa2, dalam arti bahwa kedua bahasa diizinkan digunakan dalam sidang2 de Volksraad. Tapi menariknja lagi, tiga hari setelah mengeluarkan pernjataan itu, Thamrin kembali berbahasa Belanda dalam sidang jang diikutinja. Dia rupanja kesulitan menerdjemahkan kata2 Belanda ke dalam bahasa Melajoe jang memang belum siap untuk digunakan dalam sidang parlemen.
Dengan begitu bisa kita simpulkan bahwa tidak pernah terdjadi persaingan antara bahasa Belanda dengan bahasa Melajoe (kemudian mendjadi bahasa Indonesia) di bumi Nusantara. Bahasa pendjadjah tidak pernah mendesak bahasa pengantar penduduk wilajah djadjahan. Mereka tetap bisa bertutur kata dalam bahasa Melajoe, tanpa merasa diwadjibkan untuk bertutur dalam bahasa pendjadjah. Ini berbeda dengan wilajah dan kendali pemerintahan kita. Belanda selalu dinilai menduduki wilajah kita dan memegang kendali pemerintahan kita, bahkan disebut selama ber-abad2. Kalau Soempah Pemoeda menjebut tiga unsur masing2 tanah air, bangsa dan bahasa, maka pada kenjataannja hanja tanah air dan bangsa jang didominasi pendjadjah. Ingat sebagai bumiputra, kita merupakan warga kelas tiga, setelah orang Eropa dan kalangan Vreemde Oosterlingen alias Timur Asing. Bahasa tidak (begitu) dirasa kena dominasi djuga. Bagi saja ini penting sekali, karena ini akan mendjelaskan soal nasionalisme bahasa dan ketjenderungan kita berbahasa serta bertutur kata belakangan ini.
Tema B; Orde Baru dan Politik Bahasa
- Orde Baru mengontrol segala lini dalam berbangsa-bernegara. Salah satunya kontrol terhadap bahasa. Politik bahasa seperti apakah yang dijalankan Orde Baru waktu itu? Hingga ia mampu menghegemoni rakyat hingga 32 tahun.
Salah satu tjiri rezim otoriter atau rezim tangan besi adalah hasratnja untuk mengontrol semua aspek kehidupan rakjatnja dan untuk itu rezim2 sematjem ini sampai perlu2nja mengutak-atik bahasa. Ini tentu sadja termasuk penguasa kolonial. Tjontoh rezim otoriter jang obok2 bahasa adalah rezim fasis di Italia di bawah pimpinan Benito Mussolini. Selama 20 tahun berkuasa (dari 1922 sampai 1943), Mussolini ber-tjita2 memperindah bahasa Italia. Salah satu tjontohnja rezim ini menggalakkan penggunaan kata anda (bentuk sopan kamu) jang dalam bahasa Italia adalah voi, sebagai ganti lei, jang digeser mendjadi sebutan untuk orang ketiga pria. Mungkin sadja Mussolini telah memperindah bahasa Italia, seperti jang dimauinja; tapi djelas dengan meng-obok2 bahasa ia djuga telah mengendalikan pikiran rakjatnja. Maklum orang hanja berpikir dalam bahasa, tidak dalam angka, tidak pula dalam tanda2 lain. Dengan mengendaliken bahasa, maka penguwasa jang kobok2 bahasa itu akan djuga mengendalikan pikiran rakjatnja.
Tentu sadja di masa pendjadjahan dulu nenek mojang kita djuga kena pengontrolan bahasa. Pada 1901 mulai diberlakukan edjaan Van Ophuysen dan pada 1908 lahir apa jang disebut Commissie voor Volkslectuur jang kemudian dikenal sebagai Balai Poestaka. Keduanja erat bekerdjasama dalam mengendalikan pikiran kaum terdjadjah. Berkedok menjebarkan batjaan bermutu kepada chalajak ramai, dalam menerbitkan buku, Balai Poestaka itu, pada zaman puntjaknja, paling sedikit menerapkan tiga patokan. Pertama, naskah jang masuk tidak boleh berkisar tentang tjita2 Indonesia merdeka, maximal hanja boleh mengenai pertentangan adat dan tradisi lawan modernitas. Kedua, naskah jang masuk harus sesuai dengan nilai susila jang digariskan dan dianut oleh anggota komisi jang kebanjakan adalah Belanda bule konservatif (pada achir abad 19 awal abad 20). Ketiga, naskah itu harus ditulis dalam bahasa Melajoe tinggi dan djuga dalam edjaan Van Ophuysen. Bahasa Melajoe tinggi adalah bahasa Melajoe jang hanja digunakan dalam naskah2 lama jang oleh Van Ophuysen, pegawai tinggi kolonial, ditemui di Riau. Apa jang disebut bahasa Melajoe pasar jang kebanjakan digunakan oleh kalangan Tionghoa termasuk penerbitan2 mereka, tidak boleh digunakan. Djadi pada zaman pendjadjahan itu ada kontrol bahasa dan edjaan serta jang bertugas mengontrolnja adalah Balai Poestaka. Persis seperti tjiri chas rezim otoriter.
Nah, pada zaman harto pola serupa diulang oleh penguasa orde bau. Mereka mendiriken Pusat Bahasa jang melantjarkan kampanje “berbahasa Indonesia jang baik dan benar” serta –tidak kalah pentingnja– menerapken Ejaan Yang Disempurnakan mulai 17 agustus 1972. Konon kabarnja orde bau ingin menjamakan edjaan bahasa Indonesia dengan edjaan bahasa Malaysia, maklum kedua bahasa serumpun. Tapi 45 tahun lebih usia EYD, sudahkah kita mengikuti perkembangan bahasa Malaysia? Sudah pulakah kita mengikuti perkembangan sastra Malaysia? Adakah berkala (harian, mingguan, bulanan) Malaysia jang laku di Indonesia? Adakah penulis Malaysia jang mendjadi terkenal di Indonesia (seperti penjanji2 Malaysia Anita Sarawak atau Sheila Majid) dan karja2nja selalu dinanti oleh publik pembatja Indonesia? Djelas tidak ada, karena memang bukan itu tudjuannja.
Edjaan boleh sama, tapi bahasa Malaysia tetap berbeda dengan bahasa Indonesia dan kedua bahasa itu tetap tidak djuga mendjadi lebih dekat. Apa jang disebut penjamaan edjaan jang pada intinja adalah perubahan edjaan itu tidak lain bertudjuan untuk menguasai pikiran orang, karena orang berpikir dalam bahasa dan menulis dalam edjaan. Penggantian edjaan dan pengawasan bahasa jang dilakukan oleh Pusat Bahasa jang djuga menerapkan “politik bahasa Indonesia jang baik dan benar” memang sesuai dengan watak orde bau jang merupakan rezim otoriter dan harto jang tidak lebih dari seorang diktator belaka. Rezim seperti ini selalu berupaja menjamakan bahasa penguasa dengan bahasa rakjat, dan bila sudah demikian maka rakjat akan mendjadi lega dan rela ditimpai kekuasaan se-wenang2nja. Mereka tidak lagi memberontak atau turun ke djalan.
Pada zaman orde bau dulu, hampir semua orang dalam bertutur kata selalu meng-ulang2 istilah kesukaan harto, orang kuwatnja. Kata2 ‘pembangunan’, ‘P4’ singkatan Pedoman Penghajatan dan Pengamalan Pantjasila, jaitu indoktrinasi ideologi orde bau, ‘stabilitas keamanan nasional’ dan banjak lagi, sadar atau tidak, merupakan kosakata umum. Kalau bitjara politik maka istilah2 itu selalu harus terutjap. Inilah bukti rakjat jang lega dan rela ditimpai kekuasaan se-wenang2 itu. Di lain pihak orang djuga takut ditjap membahajakan stabilitas keamanan nasional dan pembangunan. Djadi budaja takut djuga berperan besar.
Perlu pula diketahui bahwa perundingan edjaan antara Indonesia dengan Malaysia itu dilakukan menjusul konfrontasi antara kedua negara, di zaman Demokrasi Terpimpin. Bung Karno tidak setudju dengan pembentukan Federasi Malaysia jang mentjakup Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak. Itu dianggepnja tjuman akal2an imperialis Inggris (Larik lagu jang sering dinjanjikan waktu itu: “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”). Walaupun tidak sampai petjah perang, hubungan kedua negara lumajan gawat djuga. Misalnja saja lihat sendiri adegan tjukup serem pada salah satu gapura 17 agustus di Lowokwaru gang V (sekarang Letdjen Sutojo gang V), di kota tertjinta Malang. Di situ tampak tungku besar menjala dan di dalamnja ada patung Tunku Abdul Rahman (perdana menteri Malaysia). Tak pelak lagi, kepala pemerintahan Malaysia itu digambarkan tengah dibakar hidup2. Begitulah gawatnja hubungan kedua negara waktu itu.
Begitu naik kuasa, harto ingin menundjukkan bahwa Indonesia sudah berubah, makanja dia dekati Malaysia untuk diadjak berunding. Salah satu perundingan awal kedua negara, pada awal 1966 (begitu harto berkuasa) adalah soal edjaan. Dalam perundingan itu, untuk membudjuk Malaysia, Indonesia melunakkan pendiriannja. Sebelum itu Indonesia menuntut beberapa hal jang berkaitan dengan linguistik kebahasaan, misalnja untuk satu suara harus ada satu huruf, djadi bukan lagi nj atau ch atau ng, melainkan tanda2 tertentu. Akibat politik Konfrontasi Bung Karno perundingan ini matjet. Nah di bawah harto orde bau sjarat2 linguistik kebahasaan itu ditinggalken. Seperti hubungan dengan negara2 Barat lain, hubungan dengan Malaysia ini ingin tjepet2 diperbaiki, karena itu lebih dipentingkan hal2 jang praktis dan ekonomis. Hal2 jang prinsipiil termasuk linguistik kebahasaan dikesampingkan.
Dengan begitu bukan hanja ekonomi Indonesia jang dibuka terhadap modal asing (ingat pada zaman itu Freeport masuk), tetapi bahasa Indonesia djuga dibuka bagi pengaruh bahasa asing. Kalau sekarang banjak orang Indonesia (termasuk generasi muda) jang suka sekali men-tjampur2 bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, sesuatu jang saja sebut keminggris, maka tak pelak lagi itu adalah dampak politik bahasa jang dilantjarken orde bau — politik bahasa jang begitu membuka diri pada pengaruh asing, termasuk pengaruh bahasa asing. Bedanja dengan politik bahasa pada zaman Demokrasi Terpimpin adalah bahwa pada zaman itu orang selalu menondjolkan hal2 jang bersifat Indonesiawi. Istilah2 asing selalu ditjari padanan Indonesianja, tidak ada istilah asing jang ditelan mentah2 apalagi sampai ditjampur aduk dengan bahasa Indonesia.
Dampak umumnja adalah bahasa masjarakat jang seragam, karena pikiran mereka sudah ditjaplok dan dikuasai oleh orde bau. Mereka tidak bisa berbahasa di luar alam dan tjorak kekuasaan orde bau. Itu setjara konsepnja atau abstraknja. Kongkritnja bagaimana?
Per-tama2 generasi muda gak demen batja tulisan dalem edjaan lain, selain edjaan orde bau EYD. Tentu sadja tulisan2 seperti itu dihasilken pada zaman orde bau jang djelas2 bertudjuan untuk membenarkan diri sendiri. Tersingkirlah tulisan2 sebelum orde bau, hanja karena ditulis dalam edjaan lain. Mana orang tertarik membatja tulisan2 dari zaman pendjadjahan? Mana orang tertarik membatja tulisan2 dari zaman kemerdekaan? Tulisan2 dari zaman Demokrasi Parlementer pada tahun 1950an? Bahkan tidak sedikit jang mengira bahwa bahasa Indonesia senantiasa ditulis dalam edjaan orde bau. Tulisan2 dan buku2 lama dari zaman sebelum harto orde bau terlalu sulit, karena itu djangankan di-buka2, buku2 dan tulisan2 lama itu tidak pernah mereka sentuh. Indonesianis ternama, mendiang Benedict Anderson, salah satu pengkritik awal EYD, menjebut bahwa dengan edjaan rekajasanja ini, orde bau berhasil mentjiptakan pemisahan jang teges (disebutnja sebagai decisive break) antara tulisan2 jang dihasilkan pada zaman kekuasaan sewenang2 itu dengan semua jang ditulis sebelum itu.
Akibatnja, generasi muda sekarang buta sedjarah. Anderson menjebutnja generasi muda Indonesia terkena penghapusan sedjarah (historical erasure). Maklum sedjarah hanja mereka dapatkan dari tulisan2 orde bau jang misalnja menjebut zaman Demokrasi Terpimpin sebagai zaman Orde Lama, atau zaman Demokrasi Parlementer tahun 1950an, sebagai zaman liberal ke-barat2an. Tak pelak lagi, orde bau telah mentjutji otak mereka, sehingga mereka tidak pernah tahu bahkan berusaha untuk tahu dan dengan minat sendiri mem-batja2i penerbitan2 dari zaman itu, hanja karena semuanja tidak ditulis dalam edjaan orde bau.
Karena tidak membatja sedjarah, generasi muda sekarang djuga tidak bisa melihat bahwa sebenernja orde bau tjuman membebek penguasa kolonial sadja dalem memberlakuken edjaan sendiri dan mengatur bahasa rakjat. Di atas sudah saja sebut bahwa orde bau tjuman mengulang politik bahasa pendjadjah Belanda, jaitu mengganti edjaan dan mendirikan lembaga jang bertugas mengawasi perilaku bahasa chalajak ramai. Walaupun sudah begitu djelas dan gampang ditarik kesimpulannja, paralel atau kesamaan politik bahasa orde bau dengan pendjadjah Belanda ini tidak begitu diketahui orang. Itulah pentjerminan masjarakat jang dibuat buta sedjarah akibat penguasanja jang se-wenang2.
Setjara kongkrit djuga terdjadi pendangkalan atau bahkan pemiskinan dalam berbahasa. Ingat bahasa bukan tjuman hal2 jang tulisan melainkan djuga hal2 jang lisan atau utjapan. Di sini saja ingin menundjuk pada hilangnja lafal ch jang dalam edjaan orde bau diubah mendjadi kh. Orang zaman sekarang tidak bisa lagi membedakan chas (dalam edjaan orde bau khas) dengan ka pada kamar atau kasir, semuanja dilafalkan sebagai ka dan bukan cha (atau dalam edjaan orde bau kha). Begitu pula chitan jang dalam edjaan orde bau ditulis khitan. Itu dikatjaukan dengan ki pada kitab atau kibar. Kata chusus (jang oleh orde bau ditulis khusus) djuga mengalami nasib serupa: chu (khu) dikatjaukan dengan ku pada kurus atau kutub. Chotbah jang oleh orde bau ditulis khotbah djuga dikatjaukan lafalnja dengan ko pada konon atau kota. Dalam edjaan Suwandi djelas tidak mungkin terdjadi kekatjauan lafal begitu, karena hurufnja benar2 berbeda, gabungan huruf2 ch djelas tidak mungkin dilafalkan sebagai k. Tegasnja saja menuding kh jang menggantikan ch sebagai dalang di balik hilangnja lafal ch.
- Kami melihat Bung Joss selalu menggunakan ejaan Suwandi, apakah yang dilakukan oleh Bung Joss ini merupakan perlawanan? Dan mengapa ejaan ini yang dipilih?
Benar, itu adalah protes dan perlawanan jang ingin saja kobarkan. Tapi sesungguhnja itu tidak lebih dari sebuah upaja sederhana untuk menundjukken kepada generasi muda bahwa tidak selamanja bahasa kita ditulis dalem edjaan orde bau. Ada zaman2 lain ketika orang menggunaken edjaan lain bahkan bahasa jang lebih bebas dan tjara bertutur jang djauh lebih mandiri. Itu jang ingin saja sampaikan dan dengan begitu saja ingin menggelitik generasi muda supaja mereka beladjar sedjarah. Perlu saja tekankan bahwa saja sama sekali tidak berambisi mengembalikan edjaan kita ke zaman edjaan pra-EYD. Itu tidak pernah merupakan niat saja dalam menggunakan edjaan non-EYD.
Saja menggunakan edjaan Suwandi, karena menurut saja edjaan ini lebih nasionalis. Sebagai koreksi terhadap edjaan Van Ophuysen (jaitu edjaan kolonial jang mengadung oe), edjaan Suwandi ingin mendjauh dari hal2 jang ke-belanda2an. Tetapi edjaan Suwandi ini djuga tahu tidak bisa sepenuhnja lepas dari pengaruh asing, karena itu jang ditempuh adalah mentjari keseimbangan antara jang asing dan jang Indonesia. Djadi tidak sepenuhnja anti asing dan tidak sepenuhnja fanatik pada jang Indonesia. Inilah nasionalisme bahasa jang menarik bagi saja. Bukan nasionalisme jang pitjik, karena anti asing dan meng-agung2kan jang Indonesia, tetapi nasionalisme jang djuga menghargai pentingnja pengaruh asing.
Jang djuga saja senangi pada edjaan Suwandi adalah prinsipnja tentang nama asing. Kita tahu setiap bahasa Eropa punja istilah sendiri untuk menjebut salah satu kota Eropa. Kita memang punja Djenewa (untuk Genève dalam bahasa Prantjis) atau Wina untuk Wien dalam bahasa Djerman jang djuga dipakai di ibukota Austria itu. Tetapi di luar dua nama kota itu, prinsip edjaan Suwandi adalah menjebut nama seperti bagaimana warga setempat menjebut wilajah mereka. Djadi, seperti warganja, kita djuga menjebut ibukota Tjeko sebagai Praha, bukan Prague (bahasa Inggris) atau Praag (bahasa Belanda), atau Prag (bahasa Djerman). Begitu pula Den Haag, pusat pemerintahan Belanda itu tetap kita sebut Den Haag, sesuai sebutan warganja. Mengapa kita harus tunduk2 pada bahasa Inggris dan menjebutnja sebagai The Hague?
Menariknja kalau kita bitjara tentang edjaan lama, maka orang otomatis berpaling pada edjaan Van Ophuysen jang mengandung oe-oe itu. Mereka tidak tahu bahwa begitu merdeka kita punja edjaan sendiri. Edjaan Suwandi jang mengganti oe mendjadi u mulai berlaku pada 1947 dan resmi berachir pada 17 agustus 1972. Keesokan harinja berlaku rekajasa orde bau, apa jang disebut EYD alias Ejaan Yang Disempurnaken.
Banjak reaksi saja terima begitu orang membatja pendapat saja tentang edjaan ini. Dari jang senang sampai jang tidak senang bahkan mentjela. Jang menjambut dengan senang misalnja Ardyan Satya, dia menulis “Saja termasuk generasi produk orbau jang insaf. Tertjerahken karena tulisan di ini blog. Dan sjukur saja masih bisa batja edjaan Suwandi dengan njaman. Terima kasih”.
Di lain pihak, ada pula kalangan jang mentjela, misalnja Ivan Lanin. Dalam wawantjara dengan situs Tirto.id Lanin semula mengakui bahwa dia “tidak mau dan tidak bisa menghakimi seseorang bila ia menyimpang dari kaidah ejaan, diksi, dan tata kalimat yang lazim”. Tapi menariknja, di balik pengakuan tidak mau menghakimi, dia menggertak dengan tjelaan tentang pilihan saja menggunakan edjaan Suwandi. Katanja ini akan membuat pembatja “salah atau tidak memahami pesan yang ingin disampaikan.” Katanja pula, saja harus “siap diabaikan oleh pembaca”. Terus terang saja tidak tahu apa kedudukan Lanin, saja tidak jakin dia pegawai Badan Bahasa jang merupakan titisan Pusat Bahasa zaman orde bau. Tapi dari penuturan dan sikapnja jang kontradiktif itu (tidak mau menghakimi tapi menjebut saja akan diabaikan pembatja) saja terdorong untuk berkesimpulan dia seperti seorang penguasa jang begitu terusik oleh kalangan seperti saja jang menolak mengikuti kaidahnja. Ini mengingatkan saja pada ulah kaki tangan orde bau jang sangat anti kritik. Lebih penting lagi dia djelas membela EYD, atau apapun namanja sekarang.
Terus terang saja tidak begitu optimis dengan perkembangan bahasa Indonesia. Saja sangat mempertanjakan apakah orang Indonesia punja nasionalisme bahasa. Di atas sudah saja sebut bahwa dari tiga unsur Soempah Pemoeda, orang Indonesia merasa bahwa bahasanja jang tidak pernah didjadjah. Walaupun bahasa itu sudah di-kobok2 oleh Belanda ketika mereka memberlakukan edjaan Van Ophuysen dan membuka Balai Poestaka, bahasa Indonesia selalu digunakan oleh warga Nusantara. Bahkan di tanah air ini bahasa Indonesia tidak pernah bersaing dengan bahasa Belanda. Itu artinja bahasa Indonesia selalu ada di bumi Nusantara, bahasa ini tidak pernah tidak digunakan orang. Orang Indonesia djuga tidak pernah dipaksa menggunakan bahasa Belanda atau bahasa asing lain.
Di lain pihak, orang Indonesia begitu sensitif dengan wilajahnja. Waktu Mahkamah Internasional di Den Haag, pada desember 2002, mengakui kedaulatan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan, kita marah sangat besar dan berteriak sampai suara parau “NKRI harga mati”. Teriakan serupa sudah terdengar tatkala pada bulan september 1999, 78,5% rakjat Timor Timur memilih untuk tjabut dari Indonesia. Soal wilajahnja, orang Indonesia djelas begitu super nasionalis. Begitu pula soal pemerintahannja. Bukankah sudah ber-kali2 pemerintah (siapapun presidennja) dikritik kena pengaruh asing? Perhatikan sadja soal hutang asing Indonesia jang belakangan mengenai presiden sekarang.
Nah, jang tidak pernah dikritik adalah tentang pengaruh bahasa asing. Padahal betapa orang zaman sekarang selalu keminggris, mentjampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam bertutur kata. Sekarang siapa sadja keminggris, orang biasa begitu, apalagi pedjabat. Artinja kalau dalam soal wilajah dan pemerintahan orang Indonesia begitu nasionalis, bahkan nasionalis jang fanatik, maka dalam soal bahasa ini kita djustru dengan sadar bahkan serakah memasukkan unsur2 asing, bahkan mentjampur aduknja dengan bahasa kita. Mengapa begitu?
Semula saja melihatnja bahwa orang Indonesia tidak punja nasionalisme bahasa. Tapi kemudian saja sadar bahwa memang bahasa Indonesia itu tidak pernah merupakan masalah bagi kita. Kolonialisme Belanda dulu lebih mengenai wilajah dan pemerintahan (tanah air dan bangsa) dan tidak begitu mengenai bahasa. Bahasa Indonesia, seperti saja katakan di atas, memang pernah di-kobok2 oleh pendjadjah, tapi selalu dipakai oleh orang Indonesia, tidak pernah kita tidak kita gunakan. Karena itu kita tidak merasa risi mentjampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Kita memang tidak punja nasionalisme bahasa. Entahlah apa resepnja untuk bisa membangkitkan nasionalisme bahasa. Mungkin orang Indonesia harus pernah merasakan bahasanja djuga terdjadjah. Tapi bagaimana bisa menimbulkan perasaan seperti itu, ketika bahasa Indonesia tidak pernah pergi dari Indonesia? Entah bagaimana ini, saja benar2 tidak tahu!
Saja sedikit terhibur waktu menonton debat televisi para paslon pilkada Djakarta tahun 2016. Di situ djelas terlihat adanja kesendjangan bahasa antara kelas menengah perkotaan jang keminggris dengan warga pinggiran jang miskin atau lebih tepatnja tidak sekaja mereka. Kesendjangan jang saja amati adalah soal bahasa. Ketika salah satu paslon (pasangan tjalon) datang dengan istilah dalam bahasa Inggris, maka beberapa penonton protes, minta supaja jang bersangkutan berudjar dalam bahasa Indonesia jang lebih dimengerti.
Di sini terdjadi koreksi pada kesendjangan itu. Ini menarik. Kelas menengah keminggris itu dibuat sadar bahwa tutur kata mereka tidak dipahami oleh chalajak ramai. Karena itu terdjadi koreksi. Apalagi karena mereka tergantung pada suara chalajak ramai untuk bisa terpilih. Boleh dikatakan pada zaman reformasi ini, pemilihan umum/daerah itu telah memaksakan koreksi terhadap sikap keminggris itu. Tetapi saja tidak jakin koreksi itu mampu membendung keminggris. Apalagi kelas menengah perkotaan itu menguasai media dan bisa2 djuga ranah berbahasa. Tanpa nasionalisme bahasa, keminggris djelas dianggap gengsi. Saja tidak akan heran kalau warga pinggiran jang tidak sekaja kelas menengah akan membiarkan dirinja ditulari sikap keminggris, hanja karena ingin dianggep mentereng dan bergengsi.
Dengan latar belakang ini maka saja sangat ragu2 bahwa di masa depan bahasa Indonesia akan merupakan identitas jang kuat bagi bangsa Indonesia. Mungkin di masa depan itu bahasa Indonesia akan berubah mendjadi Indoglish, tjampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Ini sebagai kelandjutan sikap keminggris kita selama ini. Demikian djawaban saja jang diachiri dengan pesimisme soal masa depan bahasa.
Untuk mendjawab pertanjaan2 jang dikemukakan kepada saja, saja harus mem-buka2 buku2 dan artikel2 berikut:
- Aulia Adam (2017), “Polisi Bahasa Penting tapi tak Maha Benar”, dalam Tirto.id edisi 18 april.
- Benedict Anderson (1990), Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press. ISBN 0-8014-9758.
- Benedict Anderson (1991), Imagined Communities, Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso. ISBN 0-86091-546-8.
- Benedict Anderson (2001), “Beberapa Usul demi Pembebasan Bahasa Indonesia”, dalam Tempo 44, edisi khusus achir tahun 31 desember, halaman 82-83.
- Benedict Anderson (2008) , “Exit Suharto: Obituary for a Mediocre Tyrant”, dalam New Left Review 50, maret-april, halaman 26-59.
- Kees Groeneboer (1993), Weg tot het Westen: het Nederlands voor Indië 1600-1950, Leiden: KITLV Uitgeverij. ISBN 9067180637.
- Joss Wibisono (2012), Saling Silang Indonesia-Eropa dari diktator musik hingga bahasa, Jakarta: Marjin Kiri. ISBN 9789791260169.
- Joss Wibisono (2016), “Ben Anderson dan Perkara Ejaan”, dalam Tempo 3 djanuari, halaman 131.
- Lars S. Vikør (1988), Perfecting Spelling, Spelling Discussions and Reforms in Indonesia and Malaysia, 1900-1972, Dordrecht: Floris Publication. ISBN 9067652377