Rumah tusuk sate di Amsterdam selatan merupakan djudul sebuah buku ukuran saku (149 halaman) jang ditulis oleh Joss Wibisono dan diterbitkan oleh Penerbit OAK, Djogjakarta. Buku tersebut berisi lima tjerpen jang ditulis dalam kurun waktu antara djuni 2011 – djanuari 2017 dan pernah diterbitkan di suratkabar Suara Merdeka (2012), Koran Tempo (2016), atau diumumkan oleh LKIP – Lembaga Kebudajaan Indo Progress (2013, 2014). Teman2 Joss kemudian mengandjurkan agar tjerpen2nja dibukukan. Joss setudju dan menjerahkan enam tulisan, tapi rupanja jang diambil hanja lima, dan jang satu, jang agak pandjang, diterbitkan terpisah sebagai novel pendek atau tjerita pandjang dengan djudul Nai Kai: sketsa biografis. Demikianlah, maka lahir dua buku baru Joss jang sekaligus djuga merupakan sebuah usaha Joss untuk beralih dari menulis non-fiksi ke menulis fiksi, sebagaimana telah berulangkali diandjurkan oleh teman2 dekatnja, termasuk oleh mendiang Ben Anderson. Buku pertamanja, sebuah non-fiksi jang berisi kumpulan esai, terbit tahun 2012 berdjudul Saling Silang Indonesia-Eropa.

Pertemuan pertama Joss dengan Benedict Anderson (1936-2015) terdjadi di Ithaca, Amerika, pada tahun 1991. Pertemuan jang kemudian berkembang mendjadi persahabatan dengan pakar Indonesia di Amerika tapi berwarga Irlandia ini, bisa mendjadi tjerita tersendiri. Itu tidak kebetulan. Joss bukanlah orang awam di dalam pergerakan, dia pernah beladjar ekonomi di Salatiga dan mendjadi murid Arief Budiman (Soe Hok Djin), kakak Soe Hok Gie. Sedjak djaman mahasiswa pada dekade 1980an, Joss turut aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa. Salah satu jang kemudian membawanja sampai ke luar negeri adalah usaha mentjari informasi jang berbeda dari apa jang disadjikan oleh rezim Soeharto ketika itu. Radio Hilversum termasuk sasaran pentjarian informasi alternatif ini, para aktivis menganggap berita dari Belanda ini tidak berpihak pada rezim, bahkan objektif serta menginspirasi. Joss mengaku sering mengetik salah satu topik mata atjara “Gema Warta” untuk disebarluaskan. Didorong oleh teman2, Joss kemudian melamar mendjadi wartawan pada Radio Hilversum dan diterima. Dia punja pengalaman wartawan di kampus dan bekerdja sebagai penjiar di salah satu radio swasta di Salatiga. Sudah sedjak ketjil Joss mendengarkan siaran Radio Nederland, nama resmi Radio Hilversum, maklum pada tahun 1950an, ketika dia belum lahir, ajah Joss pernah bekerdja di sana. Dalam pada itu perlawanan terhadap rezim semakin gentjar dan sebagai pembalasan tiga kawan dekat Joss, Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono, aktivis jang mendjual buku2 Pramoedya, ditangkap dan digandjar delapan tahun pendjara. Inilah awal Joss tidak berminat balik ke Indonesia, dan awal pengembaraannja di luar negeri. Begitu diterima sebagai karjawan tetap, Joss memperoleh kesempatan untuk mengadakan apa jang disebut orientatiereis alias perdjalanan orientasi, jaitu atas biaja Radio Hilversum melakukan perdjalanan guna menambah wawasan dan mentjari informasi langsung pada sumbernja, dan boleh menentukan sendiri mau ke mana. Teman2nja sudah tentu memilih Indonesia, djuga supaja bisa bertemu keluarga dan teman2. Tapi bagi Joss djelas, pulang kampung berarti mentjari gara2 supaja ditangkap sebagaimana jang terdjadi dengan kawan2nja. Ibunja djuga menjarankan djangan pulang dulu. Joss memutuskan tidak pulang dan berusaha untuk magang di Amnesty International di London. Ia ingin beladjar tentang masalah hak2 asasi manusia. Ternjata AI baru sadja menerima pegawai baru dan tidak menerima orang magang. Ada jang menjarankan untuk pergi ke Amerika sadja, bisa kontak Sidney Jones jang waktu itu mendjabat direktur Human Rights Watch Asia di New York. Ternjata disambut dan Joss mendapat tugas untuk menulis laporan tentang situasi pers Indonesia. Dalam sebulan laporan itu selesai, memang tidak pandjang. Ketika dipublikasikan bagian Indonesia mentjapai 10 halaman. Waktu itu pengekangan terhadap pers Indonesia mulai meningkat dan mentjapai puntjaknja tiga tahun kemudian, pada 1994 dengan pembredelan tiga media, masing2 Tempo, Editor dan Detik. Sesudah laporan tentang keadaan pers ini selesai, masih ada waktu dua bulan di Amerika, apa jang mesti dilakukannja? Ada jang menjarankan tjoba pergi ke Cornell Unversity, mengikuti summer course di sana. Wah, suatu ide jang baik sekali, kiranja banjak hal jang bisa dipeladjari dan dilihat, apalagi di Universitas Cornell jang terkenal. Tapi harus ikut apa? Kebanjakan summer courses dimulai bulan djuni, dan Joss tiba di Cornell bulan djuli 1991. Ketika sedang bingang—bingung mau ngapain, ada jang menjarankan agar ikut sadja program “Harlem Renaisance” tentang kebangkitan pengarang2 berkulit hitam Amerika. Djantung Joss berdegup kentjang, ini berarti dia akan menekuni karja2 para pengarang2 kulit hitam Amerika seperti Langston Hughes, James Baldwin, Arna Bontemps, Gwendolyn Brooks atau Margaret Walker. Di Salatiga nama2 itu pernah didengarnja dari seorang dosen. Beberapa karja Langston Hughes dan James Baldwin sudah pernah dibatjanja. Sungguh suatu pengalaman luar biasa kalau bisa beladjar tentang mereka. Dua bulan mengikuti summer course di Cornell itu Joss tinggal di rumah Ben Anderson. Dia sempat bertemu berbagai pakar2 Indonesia lain seperti seperti George Kahin dan istrinja Audrey Kahin, kemudian Shiraishi Takashi. Dia djuga berkenalan dengan Daniel Lev dan Ruth McVey.

Sekembalinja ke Eropa persahabatannja dengan Ben berlandjut, sehingga praktis setiap dua tahun Joss pergi ke Amerika. Dari tulisan2 di blognja, bisa tampak tema2 jang pernah mereka diskusikan, seperti pemikiran2 tentang bahasa Indonesia: tentang apakah bahasa Indonesia pernah mendjadi bahasa jang terdjadjah, diskusi tentang EYD (Edjaan Yang Disempurnakan) ‘made in rezim orde bau’ serta mengapa Joss tidak menjukai EYD, jang dianggapnja membikin generasi muda terhalang membatja tulisan2 djadul, sehingga pengetahuan sedjarah mereka terputus. Itu djuga sebabnja Joss suka memakai Edjaan Suwandi, bahkan salah satu bab buku pertamanja Saling Silang Indonesia-Eropa ditulis dalam Edjaan Suwandi. Ketika ditanja mengapa tulisan2 jang lain, termasuk Rumah tusuk sate di Amsterdam selatan tidak konsisten ditulis dalam Edjaan Suwandi, Joss mendjawab, ketika dia tanja pada anak2 muda apakah bisa membatja tulisan dalam Edjaan Suwandi, djawab mereka: “Bisa kalau satu bab sadja, kalau semuanja – mabok”. Sebetulnja penerbit OAK sudah siap menerbitkan buku Rumah tusuk sate di Amsterdam selatan dan Nai Kai: sketsa biografis dalam Edjaan Suwandi, tetapi mempertimbangkan pendapat generasi muda jang sudah terbiasa dengan EYD, maka Joss hanja memilih satu tjerita jang ditulisnja dalam edjaan Suwandi. Tetapi blognja, jaitu gatholotjo.com, melulu ditulis dalam apa jang oleh rezim orde bau ditjibir sebagai edjaan lama itu. Selain tulisannja sendiri, di situ djuga ada wawantjara jang dilakukan orang lain terhadap dirinja dan bila ada tulisan tidak terkait dengan namanja, itu berarti artikel2 jang diterdjemahkan oleh Joss, kebanjakan dari mingguan De Groene Amsterdammer.
Apa lagi jang mendjadi perhatian Joss di dalam blog gatholotjo.com selain soal bahasa? Dia menaruh perhatian besar pada sedjarah, soal Kartini, soal apa jang disebut “periode bersiap”, dan chususnja jang berkaitan dengan muntjul dan berkembangnja fasisme. Selain itu, sedjarah jang berkaitan dengan perdjuangan putra-putri Indonesia atau pun kalangan Indo dalam melawan fasisme Djerman ketika Belanda diduduki oleh nazi. Ada keinginan padanja untuk menempatkan sedjarah jang penuh heroisme itu pada proporsi dan tempat jang lajak, agar dikenal oleh orang Indonesia dan sudah tentu oleh orang Belanda. Dari situ mendjadi djelas, mengapa beberapa tjerpennja berlatarbelakang perdjuangan bawah tanah ini, mentjeritakan perdjuangan kaum verzet (pedjuang bawah tanah) melawan moffen, nazi Hitler, seperti jang dapat kita batja di dalam “Rumah tusuk sate di Amsterdam selatan” serta “Salam perkenalan spesial”. Jang menggembirakan hati Joss, perdjuangan mereka untuk memberi nama Irawan Soejono pada sebuah djalan di Leiden, sudah hampir tertjapai. Kalau ada djalan jang harus diberinama, maka nama Irawan Soejono akan dapat giliran berikut. Sebab nama Irawan sudah ada di Amsterdam, tapi tidak ada di Leiden, padahal di Leidenlah seorang pemuda Indonesia jang ketika itu baru berusia 25 tahun, ditembak mati ketika sedang mendjalani tugas2 perdjuangan bawah tanah. Dan memang, Irawan bukanlah seorang pemimpin, demikian ditulis di dalam salah satu artikel Joss, tapi dia ada di mana2, di tempat2 jang paling berbahaja dan melakukan tugas2 jang paling berbahaja, seperti membawa mesin stensil jang digunakan oleh para pedjuang di bawah tanah untuk mentjetak penerbitan mereka. Irawan djuga jang selalu siap dan berhasil memperbaiki mesin stensil tersebut, kalau kebetulan rusak. Lagi2 adalah Irawan jang mentjari kertas untuk penerbitan dan dia djuga jang menjebarkan penerbitan. Djasanja luar biasa di usia jang masih begitu muda. Maka penamaan sebuah djalan dengan namanja adalah sesuatu jang sangat lumrah.

Di dalam “Rumah tusuk sate” ditjeritakan bagaimana kelompok Irawan berdiskusi, menentukan sikap, siapakah musuh utama mereka pada saat pendudukan ini, apakah kolonialisme Belanda ataukah fasisme Djerman? Ini adalah salah satu masalah krusial jang dihadapi para pedjuang untuk kemerdekaan Indonesia jang bermukim atau beladjar di Belanda ketika itu. Joss dengan piawai memasukkan adegan2 atau fakta2 sedjarah ke dalam tjeritanja dan mendjadikannja sebagai fiksi. Masalah krusial kedua jang dihadapi para pedjuang itu, adalah orang2 Indo lebih pertjaja pada orang jang memiliki darah Indonesia, daripada orang jang Belanda totok. Dalam tjerita jang sama, fakta ini telah menginspirasi tjerita tentang si “aku” jang bertemu dengan ajahnja jang Belanda totok, jang sedang di-kedjar2 karena melakukan perlawanan, tapi disebabkan oleh situasi jang tidak menentu, entah kapan lagi bisa bertemu, dan bisa2 maut sudah di depan menghadang, maka “sang ajah” pada pertemuan itu membuka bahwa dirinja bukanlah ajah sesungguhnja, bahwa ajah dan ibu jang selama ini dianggap sebagai orangtuanja, ternjata bukan orangtua kandung, melainkan mereka telah mengadopsinja sebagai anak, dan ajahnja sebenarnja seorang pangeran Djawa, sedangkan ibunja orang Belanda, dan nasib keduanja tidak djelas.
Saja tidak tahu apakah ibu Soewarni pemilik rumah tusuk sate itu merupakan tokoh jang sepenuhnja fiksi atau bukan, tapi di sana telah digambarkan dengan baik dan tidak ber-tele2 sebagai seorang Ibu jang tabah dalam menghadapi kehilangan suaminja akibat diluluh-lantakkannja Rotterdam oleh pemboman Djerman. Rumahnja, jang terletak hanja 200 m dari kantor djaringan intel nazi SD (Sicherheitsdienst), didjadikan tempat untuk menjimpan mesin stensil dan menerbitkan tiga koran jang telah dilarang dalam bentuk stensilan. Jang menarik koran2 tersebut bukan hanja terbitan kelompok orang Indonesia atau Indo, seperti Madjallah, tetapi koran2 golongan kiri Belanda seperti Het Parool (Kata), de Waarheid (Kebenaran) dan De Vrije Katheder (Katolik Bebas). Oplah Het Parool sendiri sedjak tahun 1940 bisa mentjapai 100.000 eksemplar, dan pada puntjaknja bisa mentjapai 400.000 eksemplar.
Tjerpen kedua jang berlatar belakang perdjuangan di bawah tanah adalah “Salam perkenalan spesial”. Dalam fiksi jang terpilih sebagai salah satu dari 15 tjerpen terbaik Koran Tempo tahun 2016, Joss djuga menggunakan teknik surprise di dalam mentjeritakan seorang tokoh Djojo. Djojo berpendapat bahwa bagi orang2 Indonesia jang terpenting adalah memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia, sehingga perdjuangan melawan moffen, fasis Djerman dan tjetjunguk2nja mendjadi tidak penting. Sikap2nja dan kedekatan Djojo dengan moffen itu membuat teman2 mentjurigainja. Pembatja seolah dibawa pada pikiran: suatu ketika Djojo pasti akan melakukan pengchianatan. Ternjata tidak. Surprise. Jang terdjadi adalah “Salam perkenalan spesial” suatu hal jang tak ter-duga2 terhadap Djojo. Demikianlah kehidupan telah memberi peladjaran jang sangat berharga bagi mereka jang tidak mau mengerti dan menganggap musuh sebagai temannja.
Sedikit balik ke persahabatannja dengan Ben Anderson, ketika Joss ditanja, mengapa tidak sekolah sadja di Cornell, di bawah bimbingan Ben Anderson, djawabannja tema jang digeluti adalah fasisme di Indonesia, sesuatu jang tidak begitu dikuasai oleh Ben dan Ben menjarankan agar Joss mengambil S3 di Eropa sadja, banjak pakar sedjarah di sana. Tjerita lain dari persahabatan ini, berkat seputjuk surat Ben, pada tahun 2011 Joss bisa diterima untuk residensi sebagai wartawan dan penulis di Pusat Kadjian Asia Tenggara (CSEAS) Universitas Kyoto selama enam bulan. Itulah sebabnja lahir dua tjerita jang berlatar belakang Kyoto: “Kura2 sungai Kamo” dan “Terbalut songket di Kyoto”.

Kehadiran Joss di Djepang pada tahun 2011 sebenarnja bukanlah untuk pertama kali. Ketika masih bermahasiswa, pada 1982, Joss pernah sebentar meninggalkan tanah air untuk tinggal di Nishinomiya (dekat Osaka) dalam rangka program pertukaran mahasiswa. Tapi pada 2011 dia datang sudah sebagai wartawan dan penulis. Ketika Joss bertanja, tjerpen apa jang paling aku suka dari lima tjerpennja itu, aku spontan mendjawab, tjerpen jang pertama, jaitu “Kura2 sungai Kamo”. Joss ngakak. Mengapa, tanjanja. Sulit djuga mendjawab, seperti mengapa lebih suka mangga daripada durian? Menurut Joss tjerpen itu kesukaan anak muda. Anggap sadja aku masih muda, kan? Plotnja memang lebih sederhana dari tjerpen2 lain, tapi penuh emosi dan teka-teki. Jang berkesan padaku djustru endingnja jang tak terduga dan sangat mengharukan. Lalu aku balik bertanja, ending itu apa kaitannja dengan kura2, Joss sendiri tidak bisa mendjawab. Oleh karena perasaan katjau, antara terharu berhadapan dengan tjinta lama jang begitu tulus, penjesalan jang tidak djelas perlu disesali atau tidak, bingung, mau menangis tapi terhenti di tenggorokan … maka tanpa disengadja, mata pun menghindar, memandang ke arah sebelas ekor kura2 batu di sungai Kamo. Apakah karena di bawah sadar dalam keadaan katjau begitu kita mentjari sesuatu jang tenang, jang kokoh? Sebelas kura2 batu itu memang tak pernah galau, senantiasa sama ber-tahun2, tak kenal hudjan dan panas, musim saldju atau musim panas … Joss tidak tahu. Sebuah ending jang indah, mengingatkan pada film2 Prantjis, terserah penonton mau berfikir apa.
Tjerpen kedua berlatar belakang Kyoto adalah “Terbalut songket di Kyoto”. Sebetulnja latar belakang tjerita ini ada tiga, Belanda (Amsterdam) dan Kyoto dan sedikit Indonesia. Di perpustakaan IISG di Amsterdam untuk pertama kali seorang pemudi Indonesia, Arum Sekarwati, berdjumpa dengan seorang pemuda Djepang, Hirai Tsuyoshi, biasa dipanggil Tsu. Tjinta dan kehidupan telah menghantar keduanja ke kampung asal Tsu di Kyoto karena kakek Tsu jang pernah ikut perang Asia Timur Raja di Indonesia, di Palembang persisnja, sakit keras dan meninggal. Joss berhasil menggambarkan keindahan Kyoto di musim rontok, dengan sungai Kamo jang membelah Kyoto dari utara ke selatan, gunung Kurama dan hutan beserta pepohonan dengan dedaunan jang ber-warna2. Semua itu menambah keindahan tjinta sepasang muda-mudi jang datang untuk menguburkan kakek Tsu jang baru meninggal. Namun teknik jang dipakai oleh Joss di sini, tjerpen ini tak berhenti pada kisah kedua muda-mudi, di balik tjerita mereka masih ada kisah lain. Selain mentjeritakan tjinta kedua muda-mudi tersebut, tjerpen ini djuga merupakan salah satu dari tiga tjerpen Joss jang menjinggung masalah tjinta homosexualitas (“Kura2 sungai Kamo”, “Rijsttafel versus entrecôte”, “Terbalut songket di Kyoto”). Arum sangat tidak tenang kalau memikirkan siapa si kakek itu, apa jang dilakukan ketika Perang Asia Timur Raja di Palembang? Ternjata benar, si kakek menjimpan sebuah tjerita jang ditulisnja di dalam surat wasiat, jaitu tjerita pertjintaan sedjenis dengan seorang pemuda Indonesia “Shiman” di djaman Perang Asia Raja di Palembang, jang kiranja dalam bahasa Indonesia Siman. Di dalam tjerita ini Joss berusaha melukiskan, di tengah2 kekedjaman, pemboman, kehantjuran dan keabsurdan perang … kehidupan tetap berdjalan, tjinta telah mengalahkan permusuhan jang ditimbulkan oleh keserakahan golongan jang berkuasa jang tak peduli pada nasib dan mengorbankan pemuda2nja. Dan tjinta itulah jang tertanam di hati si Kakek jang harus mengalami bentjana kematian kekasihnja di bawah ledakan bom. Sepandjang hidupnja kakek telah membawa kenang2an kekasihnja ke mana2 sampai pada liang kuburnja, jaitu kain songket Palembang. Hapus, pupus segala ketjurigaan dan was2 Arum Sekarwati terhadap kakek kekasihnja. Jah, si kakek bisa tersenjum, karena sekarang tjutjulah jang telah djatuh tjinta pada seorang pemudi Indonesia.
Tjerpen jang kelima, tapi ketiga dalam urutan di dalam buku, adalah “Rijsttafel versus entrecôte”. Sekali lagi ketika aku tanja apa hubungan antara djudul dengan isi … Wallahhu A’lam. Tjerpen ini mengisahkan tentang sepasang pemudi Indonesia (Ratri Moelatwangie) dan Belanda (Lieven Naaktgeboren) jang saling mengasihi, si noni Belanda adalah penjanji opera sedangkan gadis Indonesia seorang pengatjara muda. Sebetulnja ini tjerpen kedua jang berkisah tentang musik, jang satu lagi “Rumah tusuk sate di Amsterdam selatan” bertutur bahwa sang ajah adalah djuga penjanji opera jang bekerdja di Jajasan Opera Nederland. Ini pasti tak terpisahkan dari pribadi penulis jang mentjintai musik klasik, chususnja opera.
Ketika membatja tudjuh alinea pertama, aku jakin si “Aku” adalah Lieven jang sedang kepanasan dan berpikir tentang penampilannja sebagai solis alto jang terasa hampa, tidak inspiratif. Tapi jang tak bisa saja pahami, mengapa sedjak alinea ke-8 si”Aku” tiba2 adalah Ratri, Ratri jang menanti kedatangan Lieven di lobby hotel. Bolak-balik saja batja ulang, apakah saja jang salah, atau memang begitu?
Pertanjaan kedua jang sedikit mengganggu saja adalah keterangan penulis tentang apa itu rijsttafel, jaitu makanan Indonesia jang disadjikan setjara Belanda. Apakah jang dimaksud “setjara Belanda” itu? Apakah karena makan dengan nasi hangat dan disediakan piring dua lapis beserta sendok, garpu dan pisau? Jah, bisa sadja, tapi tjiri chas rijsttafel menurutku bukan di situ. Hidangan ini terdiri dari banjak lauk dan tjiri chasnja ialah itu disadjikan di atas banjak piring ketjil, sajur dua tiga matjam di atas dua atau tiga piring ketjil, rendang, semur, udang dan lain2 … setiap lauk di atas satu piring ketjil, sehingga seluruh medja penuh, tak kebetulan dibahasabelandakan dengan kata rijsttafel (medja nasi), medja jang penuh dengan hidangan lauk dan nasi. Kalau disebut makanan Indonesia, Ratri sendiri mengatakan bahwa biasanja hanja satu atau paling tiga lauk sadja. Kalau dibilang makan tjara Belanda, sama sadja, ada entrée atau soupe alias hidangan pembuka, kemudian satu matjam hidangan pokok, lalu dessert alias hidangan penutup. Tjuma dalam menjadjikannja memakai dua piring, garpu dan pisau, selain sendok. Sedangkan orang Indonesia lebih suka makan pakai tangan, disediakan kobokan untuk tjutji tangan, dan tak lupa pakai sambel serta krupuk. Oleh karenanja bagi saja lebih tepat menjebut rijsttafel sebagai makanan Indonesia jang disadjikan à la warung Padang (dengan banjak piring ketjil), tjuma dibelandakan, jaitu dalam penjadjiannja diberi sendok, garpu, pisau dan dua piring, dan nasinja djuga nasi panas, sebagaimana lajaknja orang makan di hotel.
Di sini Joss memainkan pengetahuannja tentang betapa djalin-berdjalinnja budaja Indonesia dan Belanda di dalam kedua mudi-mudi ini. Ratri dari ketjil sudah dididik setjara Eropa dan berbahasa Belanda, makanan jang disukai makanan Prantjis, entrecôte, sebaliknja Lieven menjukai rijsttafel, dalam berpendapat selalu mandiri, tidak menjombongkan asal dan kulitnja jang putih. Selama makan mereka membitjarakan tentang ditangkapnja pedjabat karena perkara mesoem, hubungan sexual sedjenis.
Sebagaimana biasanja, di sini djuga Joss menjiapkan ending jang surprise. Mengingat kedjadian penahanan itu, sudah tentu kita ber-tanja2 apa kiranja jang bisa terdjadi dengan kedua pemudi kita jang sedang saling bertjinta dan menginap di hotel itu. Ternjata, bukan mereka, melainkan orang pertama, dia jang paling berkuasa di Batavialah jang ditangkap di pagi hari, ketika kedua pemudi kita masih belum bangun betul. Mereka bisa berlandjut bertjinta.
Sedikit tambahan.
Barangkali karena baru mulai menulis fiksi, dan sudah terbiasa dengan tulisan non-fiksi, maka kebiasaan mentjantumkan daftar pustaka atau referensi tak lepas dari kebiasaan Joss. Memang hal itu bisa digunakan untuk menundjukkan karja2/tulisan2 apa serta fakta2 apa dari tulisan2 itu jang telah menginspirasi dirinja. Tjuma bagi saja, jang tidak bisa berbahasa Belanda, referensi itu tidak banjak membantu, djadi maaf sadja, kalau dalam tulisan saja ini tidak saja gunakan pustaka jang diletakkan di achir tiap2 tjerpen Joss. Tetapi blognja telah sangat membantu untuk memahami latarbelakang setiap tjerpen. Bagi mereka jang bisa berbahasa baik Inggris mau pun Belanda, sudah tentu referensi itu bisa sangat membantu. Saja hanja berfikir, kalau suatu ketika Joss akan menulis roman sedjarah jang sesungguhnja sepandjang ratusan halaman, berapa pandjang daftar pustakanja kelak? Tapi ini hanja kelakar.
Selamat terus menulis Joss!
Orly 13 desember 2017