Versi terdahulu jang lebih pendekan telah nongol di Tirto.id

Selain nama pulau2, gunung2 dan sungai2 Nusantara, djalan2 di kota2 Belanda si bekas pendjadjah djuga ada jang menggunakan nama pahlawan2 kita. Djadi, selain Javastraat atau Sumatrastraat, djuga ada Brantasgracht dan Semerustraat, tapi jang terpenting ada pula R.A. Kartinistraat, Sutan Sjahrirstraat atau Mohamed Hattastraat. Harap diingat: straat (djalan), gracht (kanal), singel (parit) atau plein (alun2/plaza) selalu harus digabung dengan nama orang, atau pulau, atau sungai jang merupaken namanja. Pantang dipisah. Begitulah tata bahasa Belanda jang pasti berbeda dengen tata bahasa Inggris jang memang memisahkan nama dari djalan. Di sini harap menulis setjara kemlondo (ke-belanda2an), alias djangan keminggris (ke-inggris2an).
Tapi kenapa sih mesti pakai nama orang lain? Djangan2 mereka ingin nostalgia karena pernah punja wilajah (batja: djadjahan) begitu besar. Dulu, tatkala masih punja djadjahan, Belanda disebut negara ketjil Eropa dengan wilajah besar. Tapi masak sih semua orang Belanda berpikiran kolonial terus? Mungkinkah lantaran si bekas pendjadjah djuga ingin menghormati para pahlawan kita?
Pemberian nama2 geografis Nusantara dan pahlawan Indonesia itu memang berkaitan dengan sedjarah. Dan sebagaimana sedjarah adalah proses jang bergerak dan berkembang, maka pemberian nama2 itu djuga mengikuti perkembangan sedjarah. Paling sedikit ada dua tahap jang menandai perkembangannja. Tahap pertama terdjadi pada awal abad 20 dengan dibukanja apa jang disebut Indische Buurt atau bilangan Hindia. Waktu itu banjak kota Belanda, misalnja Amsterdam atau Den Haag, membuka wilajah2 baru jang tentunja harus diberi nama. Diputuskan untuk memberi nama geografis Nusantara dengan tudjuan memberi tahu chalajak ramai tentang apa jang disebut “overzeese gebiedsdelen” alias wilajah di seberang lautan, tentu sadja termasuk Hindia Belanda. Maka bilangan Hindia Amsterdam misalnja mengenal nama2 Celebesstraat (Celebes adalah nama Belanda Sulawesi), Borneostraat, Javastraat, Atjehstraat, Delistraat dan seterusnja. Tahap pertama ini terdjadi sebelum Indonesia merdeka, ketika wilajah Belanda memang masih mentjakup Hindia Belanda.

Tahap kedua terdjadi setelah Indonesia merdeka. Tidak ingin lagi menggunakan nama2 geografis wilajah djadjahan jang merdeka, kota2 Belanda berpaling pada tokoh2 jang berdjasa bagi kemerdekaan wilajah2 djadjahan. Itu termasuk pemikir awal nasionalisme Indonesia jang tidak lain adalah R. A. Kartini. Apalagi karena sang putri Jepara sudah masuk kanon sastra Belanda. Walau demikian tetap ada perketjualian. Sebuah pulau di Amsterdam utara jang pada 1914 diberi nama Java-eiland alias pulau Djawa tetap menggunakan nama2 geografis Djawa, walaupun kanal2 di pulau itu baru dibangun pada tahun 1980an, ketika Indonesia sudah lama merdeka. Kanal2 di Java-eiland tetap menggunakan nama2 sungai2 di pulau Djawa: Brantasgracht, Majanggracht dan Seranggracht. Tapi melandjutkan beleid masa lampau itu menimbulkan pertanjaan djangan2 Belanda2 ini memang ingin bernostalgia.
Nostalgia atau tidak, Belanda memang tetap tidak bisa melupakan Indonesia; seperti halnja, walau sudah merdeka, masa lampau Indonesia djuga tetap terkait dengan Belanda. Kemerdekaan Indonesia tidaklah berarti penghapusan masa lampau pendjadjahan Belanda jang pernah dialaminja. Lebih dari itu, masa lampau djuga meninggalkan warisan atau djedjak jang tidak mungkin dihapus, walaupun misalnja Indonesia sudah punja arah sendiri sebagai sebuah negara merdeka. Tidak sedikit kalangan jang dalam menekuni Indonesia selalu bertitik tolak dari kenjataan bahwa Indonesia pernah mengalami pendjadjahan. Itu sadja. Pendjadjahan Belanda tidak penting lagi, tjukup negara2 jang merdeka setelah Perang Dunia Kedua. Kalangan ini melihat Indonesia setjara terpisah, sudah benar2 lepas dari Belanda. Bahkan Belanda mereka abaikan sama sekali. Se-olah2, setelah Indonesia merdeka, Belanda tidak punja masalah lagi dengan masa lampaunja. Tulisan ini menolak tjara pembahasan jang terpisah dan ter-kotak2 seperti itu. Belanda dan Indonesia tetap memiliki masa lampau bersama. Melihat tjara Belanda memperlakukan masa lampaunja akan bermanfaat untuk memahami perkembangan politik dan sedjarah mutachir Indonesia, walau sudah merdeka dan sepenuhnja lepas dari Belanda. Inilah titik tolak jang dikembangkan lebih landjut dalam tulisan ini. Lebih chusus lagi, dengan menekuni nama2 djalan di Belanda, akan ditemukan sematjam antjer2 bagi penindjauan kemungkinan nama2 djalan di Indonesia dalam perkembangan sedjarahnja sebagai bangsa dan negara merdeka.
Gerbong perempuan
Tatkala akibat kemerdekaan Indonesia, Belanda tidak lagi menggunakan nama2 geografis bekas djadjahannja itu, melainkan bergeser ke nama2 tokoh atau pahlawan, maka harus diakui itu tidak hanja menjangkut para pahlawan Indonesia. Tokoh2 internasional lain jang berdjasa bagi kemanusiaan djuga mereka perhitungkan. Tetapi djelas keputusan memberi nama sebuah djalan R. A. Kartinistraat merupakan pengakuan bahwa sang putri Jepara adalah seorang penulis, walaupun hanja satu buku jang ditulisnja, itu pun baru terbit setelah Kartini mangkat, berkat djerih pajah seorang pedjabat kolonial pula. Buku berdjudul Door duisternis tot licht (terdjemahan lebih tepat: “berdjuang dalam gelap demi mentjapai terang”) telah membawa masuk Kartini ke dalam kanon sastra Belanda. Selain penulis perempuan, dia djuga diakui sebagai pelopor emansipasi kaumnja.

Pada kanon sastra Belanda itu, Kartini berada dalam apa jang disebut damescompartiment alias gerbong perempuan, bersama penulis2 perempuan lain, termasuk Soewarsih Djojopoespito, penulis perempuan Indonesia lain jang pada 1940 (12 tahun sesudah Soempah Pemoeda) menerbitkan novel dalam bahasa Belanda, berdjudul Buiten het gareel (di luar kendali), tentang perdjuangan kaum perempuan pada zaman pergerakan di tahun 1930an. Di sini djelas, kanon sastra Belanda tidak ambil pusing apakah Kartini penulis fiksi atau non-fiksi. Masuk kategori apa sebenarnja buku Kartini? Bukankah ia “hanja” menulis surat jang djelas bukan fiksi, bukan pula puisi? Bagi pegiat sastra Belanda itu semua tidak masalah. Jang penting bahasa Belanda Kartini indah, serta isi tulisannja, terutama tentang posisi kaum perempuan, djuga sesuatu jang baru pada zaman itu. Belum ada orang lain (termasuk orang Belanda) jang menulis tentang perlunja persamaan hak pria-wanita. Maka dari itu buku Kartini dinilai berbobot sastra.
Pengelompokan bersama penulis atau tokoh perempuan lain ini djuga terdjadi di dunia njata, misalnja di Amsterdam tenggara. Di wilajah Bijlmer itu, persisnja di bilangan Gerenstein, Raden Adjeng Kartinistraat berada dalam blok penulis atau aktivis perempuan internasional lain. Salah satunja adalah Bertha von Suttner, novelis anti perang Austria, pemenang hadiah Nobel perdamaian tahun 1905 (sepeninggal Kartini). Dalam surat kepada Stella Zeehandelaar tanggal 9 djanuari 1901, Kartini menulis bahwa ia telah menerima hadiah novel tentang perang dan militerisme jang mendatangkan penderitaan bagi kaum perempuan karja Von Suttner berdjudul De wapens neergelegd. Ini adalah terdjemahan bahasa Belanda bagi djudul bahasa Djerman Die Waffen nieder (letakkan sendjata), terbit 1889. Di udjung Kartinistraat, di bilangan Gerenstein itu, djuga bisa dilihat nama Emmeline Pankhurst, tokoh Inggris jang memperdjuangkan hak suara kaum perempuan.
Selain menghargai Kartini, Belanda2 bekas pendjadjah ini djuga menghormati Sjahrir dan Hatta, sehingga di kota Haarlem misalnja ada Sutan Sjahrirstraat dan Mohamed Hattastraat. Tidak ketinggalan djuga ada Irawan Soejonostraat di bilangan Osdorp, Amsterdam barat. Mahasiswa Indonesia kelahiran Pasuruan, Djawa Timur, Irawan Soejono ditembak mati pasukan Wehrmacht Djerman di Leiden, semasa Perang Dunia Kedua, tatkala negeri Belanda diduduki nazi-Djerman. Pada bulan april 2015 di Den Haag diresmikan Munirpad (djalan setapak Munir) untuk menghormati tokoh hak2 asasi manusia Munir jang meninggal karena diratjun dalam penerbangan ke Belanda. Sebagai tuan rumah pelbagai lembaga arbitrase internasional (misalnja Mahkamah Internasional, Mahkamah Pidana Internasional, dan Tribunal Yugoslavia), Den Haag memang selalu ingin tampil di garis depan dalam urusan hak2 asasi manusia. Tapi djelas, dengan Munirpad ini Belanda si bekas pendjadjah lebih menghormati Munir ketimbang negeri kelahirannja sendiri. Mana ada djalan Munir di Indonesia? Betapa gandjil, djuga karena tidak banjak orang Indonesia jang melihat dan merasakan kegandjilan ini.
Tentu masih ada pula nama2 tokoh Nusantara lain. Dan tidak usah kaget kalau ada pula nama2 kalangan jang tidak bersimpati dengan Indonesia merdeka. Di Haarlem, salah satu udjung Kartinistraat adalah Chris Soumokilstraat, djalan ini mengarah pada Mohammed Hattastraat. Di sebelah kiri Chris Soumokilstraat ada Sutan Sjahrirstraat. Chris Soumokil adalah politikus Maluku kedua jang mendjabat presiden Republik Maluku Selatan, RMS, setelah diproklamasikan pada 1950. Sebagai pemimpin gerakan separatis pertama, Soumokil jang beribu keturunan Djawa dan Indo (tjampuran Indonesia-Belanda) ditangkap di Seram pada 1963 dan divonis hukuman mati oleh pengadilan militer pada 1964. Chris Soumokilstraat djuga ada di kota Wierden di propinsi Overijssel, Belanda timur. Selain itu di sana djuga ada Pattimurastraat dan Christina Martha Tiahahustraat. Djelas betapa kalangan keturunan Maluku sangat berperan bagi tiga nama Maluku di djalan2 kota ketjil Wierden itu. Lobi ini memang merupakan faktor penting bagi penamaan djalan, di Belanda maupun Indonesia. Penamaan Munirpad, selain tjotjok dengan ambisi pemerintah kota Den Haag untuk selalu mengedepankan nama2 para pembela hak2 asasi manusia, djuga terwudjud berkat lobi Amnesty International. Dari sedjak kematian Munir, lembaga hak2 asasi manusia ini sudah sibuk berkampanje untuk selalu mengagendakan kasus Munir.
Nah, setelah pelbagai nama Nusantara itu, jang menarik sekarang adalah menindjau nama siapa jang tidak ada? Ini bukan tebak-tebakan, karena segera dapat dipastikan satu nama Indonesia tidak akan dipakai sebagai nama djalan di negeri bekas pendjadjah ini. Soekarnostraat pasti tidak akan ada dan tampaknja djuga tidak akan pernah ada. Bagaimana bisa demikian? Bukankah Soekarno bersama Hatta adalah para proklamator? Masakan sudah punja Hattastraat, Belanda2 ini tidak mau punja Soekarnostraat? Aneh, bukan?
Tidak sampai mengantongi idjazah

Mungkin rasa aneh itu bisa dikurangi sedikit, kalau kita ingat akan dua hal. Pertama, Hatta itu lulusan Belanda. Pada 1921 ia menuntut ilmu ekonomi pada Handelshogeschool Rotterdam (sekarang Universitas Erasmus). Karena pernah menetap di Belanda, bahkan sampai selama 11 tahun, maka Hatta punja banjak teman Belanda. Bahasa Belandanja djuga fasih. Jang djuga perlu diingat adalah bahwa sebenarnja Belanda pernah berunding dengan Hatta. Itu terdjadi pada musim gugur 1949, dalam apa jang disebut Konperensi Medja Bundar. Achirnja, pada desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam upatjara jang mereka sebut souverniteitoverdracht (penjerahan kedaulatan) jang bagi kita adalah pengakuan kedaulatan. Sebagai ketua delegasi Indonesia, di istana Op de Dam, Amsterdam, Hatta waktu itu menandatangani dokumen pengakuan kedaulatan jang djuga diteken oleh ratu Juliana dan perdana menteri Willem Drees. Karena itulah Belanda2 bekas pendjadjah ini merasa njaman untuk mengakui kepahlawanan Hatta.
Kisah Sjahrir kira2 sama. Ini perkara kedua jang mesti kita perhatikan. Pada 1929 dia tiba di Belanda untuk menempuh studi hukum di Universiteit van Amsterdam. Sajang tidak selesai, Sjahrir tidak sampai mengatongi idjazah meester in de rechten alias sardjana hukum. Tapi, seperti Hatta, Sjahrir djuga punja banjak teman Belanda, tentu ia djuga hollandssprekend, fasih berbahasa Belanda. Dan seperti Hatta lagi, Sjahrir djuga pernah berunding dengan Belanda. Itulah perundingan Linggardjati, tahun 1946. Tapi Soekarno? Mana pernah dia berunding dengan Belanda2 pendjadjah? Bukan lantaran tidak mau, Bung Karno bahkan ingin sekali bertandang ke Belanda. Tapi rupanja pihak Belandalah jang tidak mau berurusan dengan dia. Mengapakah gerangan?
Masalahnja Soekarno masih tetap dianggap musuh bebujutan oleh orang Belanda. Dia ditjibir sebagai kolaborator alias kaki tangan Dai Nippon jaitu Djepun fasis. Intinja Soekarno dianggap merampas Hindia dari mereka, mendjadikannja Indonesia merdeka. Padahal waktu itu Djepun sudah kalah perang, sehingga banjak orang Belanda berharap bahkan bermimpi Hindia akan kembali ke pangkuan mereka. Tetapi ternjata mimpi indah itu tidak pernah mendjadi kenjataan, dan banjak telundjuk Belanda menuding Bung Karno sebagai biang keladinja. Sudah bekerdjasama dengan Djepun fasis, dia masih djuga memproklamasikan Indonesia merdeka. Bukankah ini sama dengan merebut Hindia dari tangan Belanda?
Tentu sadja ada pula orang2 Belanda jang mendukung Soekarno. Bahkan konon djumlah mereka tidaklah sedikit. Tapi sajang, sampai sekarang di negeri bekas pendjadjah itu masih terlalu banjak penentang ketimbang pendukung presiden RI pertama. Entah sampai kapan dendam kesumat ini masih mentjengkeram banjak orang Belanda. Orang Belanda sepertinja memang awet dalam memelihara dendam. Di satu pihak, dengan Munirpad, djelas terlihat bahwa walaupun bekas pendjadjah, Belanda sudah lebih progresif dari Indonesia, negeri jang pernah didjadjahnja. Tetapi di pihak lain, dengan terus memelihara dendam kesumat pada Bung Karno, terlihat pula betapa sulit Belanda berandjak dari masa lampau jang terus2an mentjekamnja. Ambiguitas atau hati jang mendua ini bisa djadi memang merupakan tjiri chas sikap Belanda terhadap Indonesia, bekas djadjahannja.
Bagi kalangan jang hanja berkutat pada Indonesia hal jang menarik ini tidak akan tampak. Maklum sudut pandang mereka tidak lagi menindjau bekas negeri induk. Bagi mereka jang terpenting adalah Indonesia sebagai bekas djadjahan. Belanda sebagai bekas pendjadjah tidak memperoleh perhatian lagi. Dengan begitu kemungkinan tetap terdjadinja saling silang antara Indonesia dengan Belanda djuga tidak mereka perhatikan lagi. Padahal, seperti terlihat pada tiadanja nama Soekarno pada djalan2 Belanda, betapa masa lampau itu tetap penting dan berperan di Belanda. Antara Belanda dengan bekas djadjahannja tetap terdjadi saling tindak, walaupun Indonesia sudah merdeka. Dengan kata lain, tidak mungkin melihat Belanda tanpa melihat Indonesia, karena walaupun sudah berpisah, keduanja tetap bersaling tindak.
Indonenong enggak komplit
Selain Soekarnostraat, jang djuga pasti tidak bakalan ada di negeri bekas pendjadjah adalah Soehartostraat. Sepertinja sih lantaran Indonesia merdeka didjadikan Indonenong jang tidak komplit lagi oleh si bengis daripada orang kuwat daripada orde bau ini. Tidak komplit atau tidak lengkap itu dimaksudkan sebagai tidak lagi terdiri dari Indonesia kiri dan Indonesia kanan, seperti tatkala diproklamasikan kemerdekaannja oleh Bung Karno dan Bung Hatta dulu. Habis harto dan orde baunja main ganjang2an sih. Ganjang habis sampe ke-akar2nja lagi, sehingga Indonesia kiri musnah. Tidak lain itu adalah genosida enam lima.
Dan tentu sadja main ganjang2an jang miris dan ber-darah2 itu terus dilandjutken oleh harto daripada orde bau ke negeri jang pada zaman Bung Karno dulu disebut sebagai “Timor Portugis”. Para pemerhati hak2 asasi manusia menuding faktor utamanja adalah impunitas. Sebagai pelaku kedjahatan berat pelanggaran hak2 asasi manusia mereka dibiarkan sadja, tidak dihukum. Karena itu mereka bisa terus berlandjut, kedjahatan mereka tidak pernah berhenti. Tidak puas membunuhi rakjat sendiri (jang ditjap PKI), ABRI pada desember 1975 (30 tahun setelah proklamasi 1945; 10 tahun setelah G30S) menjerbu Timor Portugis dan pada 1976 mentjaploknja. Pendudukan jang selalu diwarnai pertumpahan darah itu (Timor Timur praktis disulap djadi rumah djagal) berlangsung sampai referendum 30 agustus 1999, ketika 78,5% warga negeri Timor Timur memilih merdeka dari tjengkeraman (tentara) Indonesia.
Marah terhadap keputusan majoritas rakjat ini, tentara jang waktu itu harus hengkang dari djadjahannja mendjadi kalap. Mereka lakukan bumi hangus, sehingga lajak dipertanjakan manfaat lain langkah ini ketjuali mengorbankan rakjat sipil jang tak bersendjata. Lebih dari itu djelas pula pesan jang ingin mereka sampaikan, bumi hangus adalah peringatan: tentara akan melakukannja terhadap daerah2 lain jang berani tjabut dari NKRI. Tapi, dengan ngatjir dari Timor Leste, djuga djelas betapa tentara Indonesia tidak berani menghadapi tentara Australia jang datang (djelas terlambat) untuk menjelamatkan atau melindungi Timor Leste. Mengapa Timor Leste tidak dipertahankan sampai titik darah penghabisan oleh tentara Indonesia? Bukankah mereka selalu ber-koar2 mendjaga keutuhan wilajah dengan sesumbar NKRI harga mati? Apapun jang terdjadi, walaupun majoritas rakjatnja pilih merdeka, mestinja tentara harus tetap mempertahankan Timor Timur. Dengan begitu mereka buktikan sumpah NKRI harga mati! Sebaliknja, dengan meninggalkan Timor, orang dibuat ragu dan bertanja, apa tentara bukannja tjuma bisa omdo alias omong doang. NKRI harga mati itu bisa2 tidak ada, tidak mereka pertahankan. Jang tidak terbantahkan pada pendudukan sampai kemerdekaan Timor Leste adalah tentara itu beraninja hanja melawan rakjat jang tidak bersendjata, tidak berani menghadapi sesama tentara, dalam hal ini tentara Australia.

Haruslah ditegaskan bahwa selain karena kehendak majoritas rakjatnja, kemerdekaan Timor Leste djuga tertjapai berkat begitu besarnja tekanan internasional terhadap Indonesia. Sampai2 menteri luar negeri Ali Alatas jang selalu harus tjari dalih untuk me-nutup2i kekerasan ber-darah2 jang dilakukan tentara, menjebut Timor Timur sebagai kerikil dalam sepatu diplomasi Indonesia. Salah satu puntjak tekanan internasional itu adalah penganugerahan hadiah Nobel perdamaian pada tahun 1996 kepada dua putra Timor Leste: José Ramos-Horta dan Amo Belo (panggilan terhormat untuk uskup Dili monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo). Tidak kalah pentingnja peran B.J. Habibie, presiden sipil pengganti si orang kuat orde bau, jang begitu peduli pada tekanan internasional, sehingga memutuskan untuk mengizinkan penjelenggaraan referendum (diperhalus sebagai konsultasi djadjak pendapat) bagi rakjat provinsi termuda. Habibie tampaknja memang paham bahwa pendekatan keamanan tidak bisa terus2an diterapkan di Timor Timur. Keputusannja mengizinkan referendum itu djelas merupakan pukulan telak terhadap tentara jang hanja mau menggunakan pendekatan keamanan alias bitjara dengan sendjata dan kekerasan.
Separatisme adalah masalah politik jang tidak mungkin terselesaikan dengan sendjata (pada zaman orde bau selalu dihaluskan mendjadi pendekatan keamanan). Tidak mau tahu pendekatan lain, orde bau jang keras kepala hanja mau menerapkan pendekatan ini, sehingga separatisme di Atjeh, Timor Leste dan Papua pada zaman gelap itu tidak djuga berachir. Baru setelah orde bau tersingkir akibat krismon, lenjap pula belenggu ketidakbebasan. Timor Leste bisa merdeka. Sedangkan masalah Atjeh baru berhasil diselesaikan berkat kesepakatan politik GAM dan Djakarta. Djelas pendekatan keamanan tidak berperan pada dua penjelesaian politik itu. Sekarang tinggal masalah Papua jang tidak kundjung selesai djuga, di sana tentara dibiarkan sadja terus2an menggunakan pendekatan keamanan, satu2nja tjara menghadapi separatisme jang mereka mau tahu.
Tanpa penjelesaian politik, patut dipertanjakan apakah masalah RMS (Republik Maluku Selatan) sudah benar2 selesai. Ketika mendjabat presiden, kepada Susilo Bambang Yudhoyono pernah diperagakan pengibaran bendera RMS pada tahun 2007 di lapangan Merdeka, Ambon, waktu berlangsung peringatan hari keluarga nasional. Bajangkan seorang presiden berlatar belakang militer harus ber-hadap2an dengan bendera separatis! Pelaku pengibaran memang ditangkap, tapi peristiwa itu menandakan bahwa masalah RMS masih butuh penjelesaian politik. Di Belanda sendiri, setelah rangkaian peristiwa berdarah seperti penjanderaan kereta api oleh kalangan RMS, pada tahun 1970an, masalah ini belumlah bisa dikatakan selesai, walaupun generasi baru RMS tidak semilitan pendahulu mereka. Menarik untuk ditjatat bahwa walaupun sudah divonis hukuman mati pada tahun 1964, presiden RMS Chris Soumokil baru dieksekusi tahun 1966 atas perintah harto jang waktu itu baru mulai mendjabat presiden. Rupanja Bung Karno tidak setudju eksekusi itu dilaksanakan. Djelas terlihat betapa Soekarno lebih manusiawi ketimbang penerusnja. Masalahnja, setelah eksekusi jang dilangsungkan di pulau Obi itu, harto dan rezim orde baunja tidak menjerahkan djenazah Chris Soumokil kepada keluarganja, bahkan keluarga djuga tidak diberitahu di mana sang presiden RMS dimakamkan. Oleh karena itu, sewaktu Yudhoyono akan mengadakan kundjungan kengaraan ke Belanda pada 2010, (kundjungan kenegaraan jang pada saat2 terachir dibatalkan) djanda Soumokil menulis surat kepada Ratu Beatrix, memohon supaja kepada presiden Indonesia jang bertamu itu ditanjakan di mana makam Chris Soumokil. Kembali di sini terlihat kekedjian rezim harto orde bau. Bagaimana mungkin djenazah Soumokil tidak diserahkan kepada keluarganja, atau keluarga tidak diberitahu makamnja? Tidaklah mengherankan kalau orang2 Maluku di Belanda memperlakukan Soumokil sebagai pahlawan, terbukti dengan nama djalan jang ada di beberapa kota.

Dulu itu, mungkin sadja Timor Timur benar2 mau berintegrasi dengan Indonesia djika seandainja Djakarta tidak terus2an menerapkan pendekatan keamanan, djika warga wilajah itu dirangkul untuk ikut serta dalam proses politik Indonesia. Bukankah India pada desember 1961 sudah terlebih dahulu menjerbu Goa untuk kemudian mentjaplok djadjahan Portugal itu? Masjarakat internasional tidak terlalu mempermasalahkan aneksasi ini, karena tak lama kemudian perdana menteri Jawaharlal Nehru melibatkan rakjat Goa dalam proses politik India, alias berhenti menerapkan pendekatan keamanan dan memperlakukan warga Goa seperti warga India lain. Dengan kesal Portugal terpaksa menerima kehilangan wilajah. Untuk Timor Leste, Indonesia seharusnja mengikuti djedjak India di Goa. Tapi memang Nehru jang manusiawi dan sampai pada djabatan tertinggi negaranja melalui pemilihan umum demokratis tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan orang kuwat daripada orde bau jang begitu tega membandjirkan darah dulu serta mengkudeta Bung Karno supaja bisa berkuasa. Kalaupun tahu, pasti tak setjuwilpun ada minat pada diri si orang kuat untuk meniru langkah2 India setelah mentjaplok Goa.
Harus diakui tidak sedikit pradjurit Indonesia tewas selama 24 tahun petualangan gagal menduduki Timor Leste. Djelas ini tanggung djawab gembong2 orde bau jang mengidap impunitas. Dari awal mereka sudah haus darah, dan dilengkapi impunitas, haus darah itu enak sadja mereka tebar ke negara lain. Indonesia, demikian mendiang sedjarawan Onghokham, adalah anggota negara2 Asia Afrika pertama jang merdeka dari pendjadjahan tapi kemudian terpaksa melakukan dekolonisasi jaitu memerdekakan Timor Leste, setelah hampir seperempat abad mengangkanginja. Sebelum Indonesia, India djuga sudah menjerbu Goa, tapi New Delhi tidak perlu melakukan dekolonisasi terhadap djadjahan Portugal itu. Sesudah ditjaplok, Goa mendjadi negara bagian India, sampai sekarang. Sebaliknja dengan terus membandjirkan darah (diperhalus sebagai memberlakukan pendekatan keamanan) di Timor Timur, djelas Indonesia adalah negara jang merdeka dari pendjadjahan tetapi kemudian mendjadjah negara lain. Dari korban pendjadjahan Indonesia achirnja tjuma bisa mendjadi pelaku pendjadjahan jang lain.
Sebenarnja sebelum tentara Indonesia, Belanda djuga telah berbuat persis seperti itu. Sebagai korban pendudukan nazi selama Perang Dunia Kedua, Belanda kemudian mendjadi pelaku kekedjaman jang sama di Indonesia jang sementara itu mati2an mempertahankan kemerdekaannja. Menggambarkan kekedjaman jang dilakukan satuannja, dari Indonesia, tempat ia bertugas, Louis Sinner, seorang pradjurit Belanda, dalam seputjuk surat berkabar kepada sanak saudaranja di negeri Belanda. “Apa jang terdjadi di desa itu djauh lebih kedjam dan lebih mengerikan daripada jang terdjadi di Putten,” demikian tulis Sinner. Putten adalah sebuah kota ketjil di Belanda timur jang pada 1944 dilanda kekedjaman nazi. Membalas kematian seorang pradjuritnja, pasukan pendudukan Djerman mendeportasi 700 orang warga Putten ke kamp konsentrasi di Djerman. Di kamp itu, akibat kekedjaman nazi, tewaslah 500 dari 700 orang warga Putten jang dideportasi. Tak pelak lagi dengan menjebut Putten, maka Louis Sinner telah mengkaitkan kekedjaman Djerman di Belanda dengan kekedjaman Belanda di Indonesia. Dan memang Belanda sampai dua kali melantjarkan agresi militer jang mereka perhalus sebagai politionele actie (aksi polisi alias aksi penertiban) terhadap republik muda. Di Timor Portugis jang kemudian disebut Timor Timur bahkan di-budjuk2 sebagai provinsi termuda itu, djelas terlihat betapa Indonesia bisanja tjuma membebek Belanda, bekas pendjadjahnja sendiri. Mudah2an suatu ketika akan terungkap surat seorang pradjurit Indonesia jang ditugaskan di Timor Timur berisi penggambaran betapa jang dikerdjakan di Dili misalnja tidak lebih dari jang pernah dilakukan Belanda terhadapnja. Kalau itu sampai terungkap maka tertjapailah urut2an kekerasan dari zaman nazi sampai Timor Timur, setelah melalui Belanda dan Indonesia.
Suka atau tidak, di manapun djuga pendjadjahan selalu meninggalkan warisan. Sebagaimana pendjadjahan selalu berarti penindasan dan ketidakbebasan, maka warisannja djuga bukanlah sesuatu jang bisa dianggap bermartabat bagi kemaslahatan umum. Warisan itu tidak lain adalah kekerasan dan tak ketinggalan pelaku jang begitu tega melantjarkan kekerasan.

Tidak pertjaja? Mau bukti lain? Belanda punja pelbagai erevelden sematjam makam pahlawan di bekas djadjahannja, Indonesia; misalnja di Menteng Pulo, Djakarta atau di Kembang Kuning, Surabaja. Jang dimakamkan di situ adalah pradjurit2 jang bertugas merebut kembali Indonesia alias mengembalikan Indonesia sebagai djadjahan Belanda. Indonesia djuga punja makam Serodja di Dili. Mereka jang dimakamkan di sana bertugas menduduki Timor Timur, sesuai perintah orang kuwat daripada orde bau. Kalau perdana menteri Belanda Mark Rutte melakuken tabur bunga di makam Menteng Pulo pada 2013, maka Jokowi melakukan hal jang persis sama di makam Serodja, pada 2016. Dalam hal ichwal menduduki negara lain, Indonesia memang hanja bisa membebek Belanda, bekas pendjadjahnja.
Infrastruktur kebangsaan mangkrak
Achirulkalam, kembali pada nama2 djalan di awal tulisan ini: bukankah kini sudah tiba saatnja bagi Indonesia untuk punja Djalan Timor Timur, Djalan Dili atau Djalan Nicolao Lobato (perdana menteri pertama Timor Leste) dan kelak mungkin djuga Djalan Xanana Gusmão? Meniru Belanda2 bekas pendjadjah djanganlah tanggung2, bukankah kita memang sudah kepalang basah? Djika di kota2 Indonesia ada djalan2 jang dinamai alam atau tokoh/pahlawan Timor Leste, maka ini akan bermakna bahwa Indonesia telah mengakui kesalahan masa lampaunja dan berdjandji tidak mengulangnja lagi. Tentu sadja ini djuga berarti penjelidikan dan penelitian menjeluruh terhadap pelbagai pelanggaran berat hak2 asasi manusia jang kebanjakan memang terdjadi sepandjang zaman orde bau. Kemudian diikuti dengan langkah2 menghapus impunitas, jaitu mendjatuhkan hukuman terhadap para pelanggar hak2 asasi manusia. Tentunja setelah berlangsung pengadilan. Ingat: pembunuhan dan kedjahatan terhadap kemanusiaan serta pelbagai matjam pelanggaran berat hak2 asasi manusia tidak pernah akan kedaluwarsa.
Djalan Timor Timur sudah ada di beberapa kota Indonesia, misalnja di Djakarta atau di Jogjakarta. Ini artinja sudah ditempuh langkah pertama (tapi djuga bukti lain betapa Belanda tidak djauh lagi, bahkan Belanda suri tauladan kita). Tinggal berlandjut dengan menempuh langkah2 berikut, jaitu mengadakan Djalan Dili atau Djalan Nicolao Lobato, dan seterusnja. Harap diingat ini soal menamai djalan, bukan membangun djalan bebas hambatan atau membuat papan nama djalan. Membuat papan nama djalan djelas pekerdjaan paling gampang. Tukang kaju, tukang besi bahkan tukang mebelpun pasti bisa mengerdjakannja.
Tapi bagaimana kalau si tukang mebel ingin djadi presiden? Mampukah dia mewudjudkan djalan2 baru di Indonesia dengan nama2 Timor Leste? Ataukah dia hanja mampu memberesi pembangunan infrastruktur jang mangkrak alias terbengkalai? Namun, seperti terlihat di Kulonprogo, hasrat jang begitu menggebu untuk memberesi infrastruktur mangkrak, ternjata tjuma bisa menghasilkan pelanggaran hak2 asasi manusia jang lain. Sadarkah si tukang mebel bahwa jang djuga mangkrak adalah infrastruktur kebangsaan Indonesia — djelas bukan infrastruktur fisik semata! Sampai berapa lama lagi masalah pelanggaran berat hak2 asasi manusia di masa lampau harus dibiarkan mangkrak terus? Djangan2 itu memang kerdja jang terlalu sulit bagi seorang tukang mebel, walaupun dia sudah sampai pada djabatan presiden!
Amsterdam, februari 2019