Achir pekan jang baru lewat (awal mei 2019), Belanda si bekas pendjadjah memperingati 74 tahun pembebasannja dari pendudukan nazi Djerman selama Perang Dunia Kedua. Setiap 4 mei dikenang mereka jang gugur semasa pendudukan dan setiap 5 mei diperingati kapitulasi nazi jang berarti pembebasan negeri kintjir angin dari pendudukan fasisme.
Salah satu atjara jang menarik dan sering aku hadiri adalah pembukaan untuk umum rumah2 orang Jahudi atau rumah2 tempat berlangsungnja perlawanan terhadap pendudukan kalangan fasis itu. Atjara itu dinamai “Open Joodse Huizen van Verzet” alias buka rumah Jahudi, rumah perlawanan.

Rumah Jahudi adalah rumah2 jang dulu ditempati oleh orang2 Jahudi, salah satu korban nazi selain kalangan kuminis, Sinti dan Roma (dulu disebut Gipsi), pemeluk Saksi Jehova, kalangan penjuka sedjenis, para penjandang tjatjat mental, pendek kata mereka jang oleh nazi ditjibir sebagai “Untermensch” (belum lagi manusia). Sedangkan rumah perlawanan adalah kediaman jang digunakan untuk menjelenggarakan perlawanan atau tempat tinggal tokoh2 jang melantjarken perlawanan terhadap nazi.
Rumah2 itu dibuka untuk umum, selain supaja orang tahu bahwa di rumah itu terdjadi perlawanan atau pernah bermukim salah seorang pelaku perlawanan, hadirin djuga dipersilahken mendengarken penuturan kalangan jang mendalami aktivitas si tokoh atau kegiatan perlawanan apa sadja jang berlangsung di rumah itu.
Ada dua rumah perlawanan jang achir pekan lalu sempat kudatengi. Pertama, di Singel 65F, Amsterdam pusat, alamat terachir tokoh perlawanan Willem Arondéus sebelum dia ditangkep dan, setelah melalui pengadilan pura2, divonis hukuman mati. Arondéus jang penjuka sedjenis itu termasuk dalam sekelompok warga Amsterdam jang melantjarkan serangan terhadap kantor dinas pendudukan. Berhasil meledakkan kantor jang memuat daftar penduduk Amsterdam (termasuk apakah mereka Arya atau Jahudi), Arondéus bersama sebagian besar anggota kelompok itu achirnja tertangkap djuga. Tanpa ampun mereka dihukum tembak.

Rumah perlawanan kedua jang kukundjungi terletak Amsterdam selatan, persisnja di Gerrit van der Veenstraat 167, pada zaman Perang Dunia Kedua dulu masih bernama Euterpestraat 167. Dulu itu di rumah ini tinggal keluarga Soesilo, orang Indonesia, jang ternjata djuga melantjarkan perlawanan. Keluarga ini menjimpan mesin stensil di ruang tersembunji persis bawah atap rumah mereka. Dengan mesin itu ditjetak selebaran gelap De Bevrijding berkala terbitan PPI (Perhimpoenan Peladjar Indonesia) jang berisi segala matjam berita tentang perkembangan perang. Selain itu, ini jang penting, mesin stensil ini ternjata djuga dipergunakan untuk mentjetak koran2 Belanda jang sudah dilarang nazi, De Waarheid, De Vrije Katheder, Trouw, Het Parool dan Vrij Nederland. Keberanian keluarga Soesilo memang luar biasa, karena kalau sampai ketahuan memiliki mesin stensil pasti tidak ada ampun lagi, nazi djelas akan meringkus mereka. Apalagi markas besar dinas rahasia nazi jang bernama Sicherheitdienst berada di Euterpestraat 99, maximal tjuma 200 meter dari rumah mereka. Pertama kali mendengar keberanian ini aku tjuman bisa menganga tertjengang untuk kemudian berdetjak kagum.

Keberanian keluarga Soesilo jang luar biasa ini aku djadikan model bagi dua fiksiku jaitu “Rumah tusuk sate di Amsterdam selatan” dan “Salam perkenalan spesial” (Koran Tempo 14-15 mei 2016). Tjerpen terachir ini merupakan salah satu dari 15 tjerpen terbaik Tempo 2017.
Ahad 5 mei, tengah hari, empat orang duduk di ruang tamu rumah Gerrit van der Veenstraat 167 (dulu Euterpestraat 167) untuk berkisah tentang perlawanan orang Indonesia selama Perang Dunia Kedua. Mereka adalah keturunan para tokoh perlawanan dulu, termasuk seorang sedjarawan Belanda. Baru sekarang si penghuni memberi izin rumah mereka dibuka untuk umum, supaja publik tahu kisah herois perlawanan orang Indonesia selama Perang Dunia Kedua. Ini memang penghuni baru, dan ironisnja mereka adalah keluarga muda Djerman-Swedia. Sebelum itu, ketika ditinggali orang2 Belanda, tidak pernah mereka memberi izin rumah itu dibuka untuk umum. Kesempatan baik ini djelas tak ku-sia2kan, karena sedjak tahu kisah perlawanan orang Indonesia selama Perang Dunia Kedua, betapa aku ingin sekali melihat rumah ini dari dalam.
Kalau pengin tahu lebih landjut tentang perlawanan orang Indonesia terhadap fasisme di Belanda selama Perang Dunia kedua silahken batja2 artikel Emile Schwidder ini.