Versi lain esei ini pernah terbit di Mingguan Tempo Edisi 23 Djanuari 2012. Djuga diambiil alih oleh blog rubrik bahasa milik Ivan Lanin
Serasa ada sesuatu jang terlewat pada setiap bulan bahasa, sebagai bagian ritual mengenang heroiknja Soempah Pemoeda. Itulah mengadjukan dan berupaja mentjari djawaban terhadap sebuah pertanjaan jang tidak kalah pentingnja: mengapa pendjadjah Belanda dulu tidak mewadjibkan kita berbahasa mereka? Bukankah di Filipina Spanjol memberlakukan bahasa mereka, seperti djuga Portugal di Timor Lorosa’e dan Prantjis di Indochine, sekarang Vietnam, Kambodja dan Laos?
Kekuatan kolonial Eropa jaitu Inggris, Prantjis, Spanjol dan Portugal memang selalu membuat wilajah djadjahan mereka djuga berbahasa mereka. Bahasa2 Inggris, Prantjis, Portugis dan Spanjol bukan sadja mendjadi bahasa pemerintahan di Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin, tetapi djuga diadjarkan di sekolah2 wilajah djadjahan itu.
Alhasil ketika kolonialisme berachir, negara2 jang merdeka dari djadjahan Inggris, Prantjis, Portugal dan Spanjol tetap menggunakan bahasa (bekas) pendjadjah sebagai bahasa nasional. Atau, kalaupun sudah punja bahasa nasional seperti Maroko atau Aldjazair jang berbahasa Arab, bahasa Prantjis mendjadi bahasa nasional kedua, sekaligus bahasa penghubung dengan dunia internasional. Mengapa Belanda tidak berbuat serupa di Indonesia?
Para pakar, termasuk Kees Groeneboer, direktur Pusat Bahasa Belanda Erasmus di Djakarta berpendapat bahwa ketika tiba di Nusantara pada achir abad 16, Belanda mendapati bahasa Melajoe sudah merupakan lingua franca, bahasa pengantar. Mereka tidak merasa perlu memperkenalkan bahasa Belanda.
Ini djelas berbeda dengan, misalnja, Spanjol di Filipina atau Prantjis di Indochine. Di sana, konon kabarnja, tak ada bahasa pengantar jang dimengerti oleh banjak orang dari pelbagai kawasan. Kesempatan inilah jang dimanfaatkan oleh penguasa kolonial untuk memberlakukan bahasa mereka. Merasa mendapati bahasa Melajoe sebagai lingua franca, Belanda djelas tak punja kesempatan serupa. Bahkan di beberapa daerah bahasa Belanda harus bersaing dengan bahasa Melajoe atau bahasa Portugis, dan djelas bahasa Belanda achirnja “kalah”.
Groeneboer djuga berpendapat bahwa di Nusantara Belanda mendapati wilajah jang sebagian besar sudah beragama Islam. Ketika pada achirnja wilajah ini diduduki, maka warganja tetap dibiarkan sadja menggunakan bahasa Melajoe. Politik kolonial Belanda memang tidak ingin mengganggu wilajah ini lebih landjut, sehingga warganja tidak begitu merasakan pendjadjahan. Bahasa Belanda digunakan untuk menjebarkan agama Nasrani, karena bahasa Melajoe dan bahasa daerah dianggap tidak tjotjok. Tapi itu hanja dilakukan di Maluku, Minahasa dan Batak.
Jang sebenarnja djuga harus diperhitungkan adalah bahwa Belanda datang ke Nusantara sebagai sebuah perusahaan dagang, itulah VOC jang di Belanda dan negeri barat lain di-sandjung2 sebagai perusahaan multinasional pertama dunia. Pendapat seperti ini antara lain dilontarkan oleh Indonesianis senior Benedict Anderson. VOC djelas hanja memburu laba jang diperolehnja melalui monopoli serta kekerasan. Selain itu VOC djuga menekan ongkos serendah mungkin. Bagi mereka lebih murah beladjar bahasa Melajoe ketimbang menjebarkan bahasa Belanda. Pendirian VOC ini sangat berpengaruh dan membajangi setiap politik bahasa jang dilantjarkan penguasa kolonial terhadap Nusantara sesudahnja.
Tapi itu tidaklah berarti VOC tidak menjebarkan bahasa Belanda. Di Ambon, pada abad 18, VOC membuka sekolah berbahasa Belanda dan djuga geredja jang menjelenggarakan kebaktian dalam bahasa Belanda. Ternjata bahasa Belanda para siswa ini tidak djuga madju, maklum di luar mereka kembali berbahasa Melajoe atau bahasa tanah, bahasa setempat. Apalah manfaat pengadjaran bahasa Belanda? Karena itu sekolah itu ditutup.
Ketika VOC bangkrut dan Nusantara diambil alih oleh pemerintah Belanda di Den Haag, (dan setelah empat tahun interregnum Inggris) Batavia melantjarkan politik bahasa chusus terhadap orang2 Eropa. Mereka wadjib berbahasa Belanda.
Ada dua tudjuan jang ingin ditjapai. Pertama mengkikis habis bahasa Portugis jang waktu itu, di Batavia misalnja, merupakan bahasa kedua setelah bahasa Melajoe. Kedua, memurnikan bahasa Belanda, melenjapkan bentuk kreol jaitu penggabungan bahasa Belanda dengan bahasa Melajoe atau bahasa Djawa. Kalangan Indo jang berdarah tjampuran Indonesia Belanda sebenarnja sudah mentjiptakan bahasa Petjook. Bagi penguasa kolonial jang penting adalah kemurnian bahasa. Ini sedjalan dengan politik ras mereka jang tidak mengakui kalangan Indo sebagai ras tjampuran.
Tak perlu diragukan lagi: seperti VOC, pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak pernah benar2 berminat membahasabelandakan koloninja. Dalihnja lagi2 sudah ada lingua franca, tapi djelas: buat apa buang uang, jang penting djustru mengeruk kekajaan dari koloni, misalnja melalui Tanam Paksa.
Di sini djuga terlihat watak kolonialisme Belanda jang lebih merupakan kolonialisme pengerukan (extract colonialism) ketimbang kolonialisme industri seperti jang diterapkan Inggris di India. India didjadikan pasar industri Inggris jang pada abad 19 mengalami revolusi industri. Supaja bisa membeli barang2 buatan Inggris, orang India harus punja mata pentjarian, harus kaja, harus punja selera. Tidaklah mengherankan kalau India lebih memiliki kelas menengah katimbang Indonesia.
Pada abad 20 penguasa kolonial melantjarkan Politik Etis, antara lain membuka sekolah untuk pribumi maupun kalangan vreemde oosterlingen (Tionghoa, Arab atau India). Maka dibukalah HIS (Hollandsch Inlandsche School) untuk kalangan pribumi dan HCS (Hollandsch Chinese School) untuk kalangan Tionghoa. Tapi itu tidaklah berarti bahwa bahasa Belanda diadjarkan setjara luas.
Pertama karena jang bisa masuk HIS atau HCS hanjalah kalangan bangsawan serta kaum elit dan terpandang. Kedua, bahasa Belanda jang diadjarkan dibedakan antara bahasa Belanda sebagai bahasa asing (untuk HIS dan HCS) dan bahasa Belanda sebagai bahasa ibu (untuk ELS, Europese Lagere School jang tentu sadja bermurid kulit putih Eropa).
Lagi2 terlihat mental VOC: penguasa kolonial sama sekali tidak berminat menjebarkan bahasa Belanda. Mereka chawatir semakin banjak warga Hindia jang bisa berbahasa Belanda, akan makin banjak pula kalangan intelektual jang menghendaki kemandirian, kebebasan dan kemerdekaan. Mereka akan mudah “mendjadi mangsa” kaum nasionalis.
Walau begitu, djumlah pribumi jang fasih berbahasa Belanda meningkat djuga, sampai awal tahun 1920an peningkatan itu mentjapai 10 kali lipat lebih. Ketika pendjadjahan Belanda berachir, pada tahun 1940an, djumlah pribumi jang mampu berbahasa Belanda mentjapai dua persen dari seluruh warga Hindia Belanda. Itupun sudah mentjapai 1,4 djuta orang.
Faktor djumlah penduduk inilah jang menurut Kees Groeneboer berperan penting bagi politik bahasa Belanda untuk Hindia Barat: Suriname dan Antila Belanda. Pada awal abad 20 djumlah penduduk wilajah ini tidaklah banjak, tidak sampai 200 ribu orang. Djumlah seperti ini tidak memberatkan penguasa kolonial untuk menjediakan pendidikan berbahasa Belanda bagi Hindia Barat.
Maka djelas terlihat Belanda menerapkan politik bahasa jang berbeda di Hindia Belanda dan Hindia Barat, walaupun keduanja sebenarnja merupakan wilajahnja. Menurut Kees Groeneboer pembedaan itu muntjul karena alasan praktis sadja, itulah djumlah penduduk jang begitu berbeda di antara kedua wilajah.
Tapi djelas untuk Hindia Belanda penguasa kolonial tidak berandjak dari pendirian VOC jang bermotif laba. Selain itu, kita djuga tahu orang Belanda itu kikir, tidak suka membuang kebiasaan (apalagi kebiasaan jang murah) dan, dikungkungi sikap VOC, dalam soal bahasa ini mereka djuga tidak terlalu punja wawasan masa depan. Kalau Indonesia djuga berbahasa Belanda, maka sekarang bahasa ini akan digunakan oleh njaris 300 djuta orang, sementara sekarang tidak sampai 100 djuta orang. Watak tak berwawasan ini achirnja memang menguntungkan kita. Ketika mendjadi Indonesia (harus diakui ini berkat Belanda) kita achirnja berbahasa Indonesia, tidak berbahasa Belanda.
Apakah relevan mengaitkannya dengan jumlah penduduk dan luasnya wilayah kekuasaan? Anak benua India, jumlah penduduk lebih banyak dan wilayah lebih luas dari Hindia Belanda. Saat India merdeka dan sampai saat ini bahasa Inggris menjadi bahasa penting.
Sila baca “Bahasa Melayu Bahasa Dunia” oleh James T. Collins. Collins menjelaskan pertarungan bahasa. Plus, istilah penjajahan tak bersifat universal. Di negeri-negeri Melayu (yang banyak diganti menjadi nusantara), posisi VOC (atau Inggris) jadi perdebatan karena ada yang mengasumsikannya sebagai investor. Tak ada pembunuhan, penyerangan, penyerbuan. Entah jika di negeri lain. Tabik.
Menarik membaca tulisan ini. Namun, saya kira ada beberapa hal yang agaknya tidak begitu diketahui secara baik dan benar oleh Joss Wibisono. Khusus ketika dia bilang, “Bahasa Belanda digunakan untuk menjebarkan agama Nasrani, karena bahasa Melajoe dan bahasa daerah dianggap tidak tjotjok. Tapi itu hanja dilakukan di Maluku, Minahasa dan Batak.” Perlu lagi dia melakukan studi-studi terhadap beberapa literatur baik yang ditulis oleh para zendeling yang datang ke Minahasa di masa kolonial itu, maupun tulisan2 kemudian yang ditulis oleh orang Minahasa sendiri mengenai sejarah kristenisasi di Minahasa. Kebetulan, sekarang Wibisono akrab dengan negeri Belanda.
Sebetulnya, Belanda tidak menggunakan bahasa Belanda untuk menyebarkan agama Kristen di Minahasa. Mereka tetap memakai bahasa Melayu (Manado) dan kadang-kadang bahasa ibu Minahasa. Tjahaja Sijang, terbit 20 Januari 1869, awalnya sebagai surat kabar zendeling untuk kepentingan misi yang sudah sejak awal menggunakan bahasa Melayu Pasar atau Melayu Pante untuk bahasa pengantarnya. Demikian juga dengan buku2 pengajaran agama Kristen. Misalnya tahun 1884, KT Herman seorang zendeling yang bertugas di Amurang, Minahasa Selatan menulis tentang pokok2 pengajaran agama Kristen untuk orang2 Minahasa yang baru masuk agama Kristen. Bukunya itu menggunakan dwi bahasa, yaitu Bahasa Melayu dan Bahasa Tontemboan (salah satu bahasa ibu di Minahasa).
Berikut, perlu juga Wibisono ketahui, meski datang dalam waktu secara bersamaan, tapi antara yang disebut kolonialisme politik (penjajahan) oleh pemerintah Hindia-Belanda, dengan kegiatan para zendeling, pada banyak hal tidak berhubungan secara kelembagaan. Badang zending yang mengutus zendeling2 ke Minahasa berasal dari NZG, sebuah badan zendeling yang independent dari pemerintah Belanda dan juga gereja. Ini murni lembaga penginjilan. Meskipun, mungkin dalam beberapa hal, misalnya pendanaan dan beberapa kemudahan administrasi, badan zendeling ini berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Ini penting untuk diketahui dalam memahami mengenai apa yang penulis sebut “politik bahasa.”
Dalam hal bahasa, para zendeling kebanyakan menggunakan bahasa Belanda untuk urusan2 internel mereka. Misalnya untuk menulis laporan2 kegiatan penginjilan yang dikirim ke NZG yang kemudian diterbitkan di Majalah Mededeelingen yang terbit di Roterdam atau urusan administrasi surat menyurat di antara mereka.
Waktu dua zendeling, Riedel dan Schwarz, dua orang penginjil dari Jerman yang mendapat pendidikan teologi di Belanda dan kemudian bekerja pada NZG dan diutus ke Tanah Minahasa tahun 1831, sebelum melakukan kegiatan penginjilan mereka terlebih belajar bahasa dan kebudayaan Minahasa. J.A.T. Schwars (anak dari Schwarz) bahkan sampai menerbitkan sebuah kamus Minahasa-Belanda, berikut menulis cerita-cerita rakyat Minahasa dalam bahasa Minahasa dan Belanda. Mereka menggunakan bahasa Belanda untuk kepentingan zending yang mengutus mereka (karena orang2 Minahasa tentu tidak mengerti bahasa Belanda). Mereka menggunakan bahasa Minahasa, memang untuk kepentingan orang2 Minahasa.
Naskah saya yang berjudul “Bahasa yang Hampir Terbisukan” (yang belum diterbitkan) menyinggung juga politik bahasa itu. Di naskah itu saya mengutip Watupongoh yang meneliti bahasa Melayu yang digunakan pada Tjahaja Sijang, “Sebagai pertimbangan psikologis politis, Belanda berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dan Minahasa yang berbeda kedudukan dan bahasa, lebih menguntungkan bila digunakan bahasa yang ketiga yang tidak dikuasai oleh kedua belah pihak oleh karena dalam berbahasa daerah, Belanda dapat membuat kesalahan, sedangkan di pihak Minahasa, dengan berbahasa daerah ia akan menutup diri bagi Belanda,” Watupongoh menyimpulkan alasan para zendeling memilih bahasa Melayu.
Memang, di Minahasa berlaku juga apa yang bung Wibisono sebut “Politik bahasa”. Politik bahasa di sini untuk membuat “pembedaan” mungkin dalam rangka untuk memecah bela demi sebuah penaklukan. Misalnya, Samratulangi fasih berbahasa Belanda karena ia sekolah khusus untuk para elit (yang sebenarnya bagian dari elitisasi orang2 lokal), Hoofdenschool, nama sekolah itu. Sekolah khusus anak-anak pemimpin di Minahasa dan sekitarnya. Tapi, itu “berkat” bagi Samratulangi, karena dengan demikian dia bisa menguasai kebudayaan Belanda dan kemudian bisa sekolah sampai ke Eropa (soal apakah dia benar2 mendapat gelar doctor atau tidak, itu soal lain yang tidak substantive bagi masalah ini). Ini juga berlaku di gereja. Hanya gereja-gereja tertentu di mana banyak orang Belanda atau elit2 Minahasa (yang dielitkan oleh Belanda) berjemaat. Gereja2 pada umumnya, menggunakan bahasa Melayu.
Saya bersyukur, bahasa Belanda tidak menjadi bahasa kedua kita sekarang. Sebaliknya, saya agak menyesal, kenapa kemudian Belanda, bagian dari politik bahasanya juga, menjadikan bahasa Melayu, yang kemudian di Indonesia sejak Kongres Pemuda (bukan sumpah pemuda) di tahun 1928. Karena, Bahasa Indonesia kemudian juga adalah bagian dari politik bahasa, Indonesia.
Sebagai catatan, bagian dari politik bahasa kolonial adalah dengan mendirikan
Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakjat) pada tanggal 14 September 1908. Ia semacam perusahaan penerbitan dan percetakan milik negara pemerintah kolonial. Pada 22 September 1917 ia berubah nama menjadi “Balai Poestaka.” Balai ini didirikan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura. Balai ini memiliki peran besar dalam mempopulerkan bahasa Melayu, juga Jawa, Sunda dan Melayu. Dan, kemudian ia menjadi lembaga Jawanisasi, Melayuisasi, Sundaisasi, dan Maduraisasi nusantara. Terseleksi kemudian, yang berhasil adalah Melayuisasi dan Jawaisasi beragam bahasa bangsa2 senusantara.
Saya sengaja memberi komentar panjang atas catatan dari teman yang satu ini, terutama mengomentari satu bagian tulisannya, yaitu: “”Bahasa Belanda digunakan untuk menjebarkan agama Nasrani, karena bahasa Melajoe dan bahasa daerah dianggap tidak tjotjok. Tapi itu hanja dilakukan di Maluku, Minahasa dan Batak.”
Ia hanya dua kalimat. Tapi menurut saya, ini sangat krusial sebab ia sangat bias. Kalau ini kemudian menjadi wacana, maka ini akan melanjutkan lagi stigma terhadap orang-orang Minahasa sebagai antek-antek Belanda. Padahal, pandangan itu tidak benar. Selain ada Perang Aceh, Perang Jawa, ada juga Perang Minahasa melawan kolonial tahun 1808-1809. Sebelumnya ada perang orang2 Minahasa melawan Spanyol.
Teks Joss Wibisono di atas, menyiratkan sebuah pemahaman, bahwa Kristen sama dengan Belanda, Belanda adalah penjajah, dan bahasa Belanda telah digunakan di Minahasa untuk kristenisasi. Ini sangat biasa. Khas orang2 sentra dalam memandang Minahasa, atau bangsa2 lainnya di luar sentra.